Selamat Datang di Taman Biografi Ulama dan Habaib. Barakallahu Lana wa Lakum

Selamat Datang di Taman Biografi Ulama dan Habaib. Barakallahu Lana wa Lakum

Senin, 31 Desember 2012

Habib Husein bin Hud Bin Yahya



Habib Husein bin Hud Bin Yahya
Aroma Kota Nabi di Kota Wali

 

Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan, yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.

Sejak awal abad keenam belas, kota Cirebon memang dikenal sebagai salah satu basis penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Walisanga, bermukim di kota ini. Tidak mengherankan jika daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah ini kaya akan khazanah keislaman. Mulai dari situs-situs peninggalan Kesultanan Cirebon, karya-karya sastra, sampai pesantren-pesantren tradisional.

Sunan Gunung Jati hanyalah satu diantara begitu banyak tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah. Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering disebut  “Kota Wali”.

Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka, misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang indah dan pesantren-pesantren besar. Salah satunya adalah Pesantren Babakan, Ciwaringin.

Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya kemudian identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30 pondok pesantren denga ribuan santri.

Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah figur kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan. Ayahnya, Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib kota Cirebon saat ini.


Janji Allah

Habib Husen adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan Habib Hud dan Hj. Himayah Masduki. Ibunda Habib Husen adalah putri K.H. Masduki Ali, salah seorang tokoh ulama Pesantren Ciwaringin Cirebon di masa lalu.

Masa kecil Habib Husein dihabiskan di sekitar pesantren yang diasuh ayahnya, sepeninggal kakeknya, Kiai Masduki. Setelah menyelesaikan pendidikan di madrasah tsanawiyah dan aliyah di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin, ia sempat pula mengenyam pendidikan di sejumlah pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Setelah lama menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, tahun 2001 Habib Husen pergi ke negeri leluhurnya, Hadhramaut, untuk semakin menambah wawasan keilmuannya. Di sana, ia masuk Rubath Tarim, yang saat itu masih diasuh oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, dan adiknya, Habib Salim Asy-Syathiri.

“Pertama kali datang ke Hadhramaut, saya mendekati Habib Hasan sambil membawa segelas air untuk minta didoai. Dengan doa beliau, saya berharap bisa betah tinggal di Hadhramaut dan mendapat keberkahan selama mengikuti pelajaran di kota itu.

Setelah pamit berpisah dari Habib Hasan, air itu saya minum. Sisanya akan saya simpan. Tapi tiba-tiba kawan-kawan saya ‘menyerbu’, akhirnya air itu habis diminum kawan-kawan saya,”
kisah Habib Husen mengenang masa-masa awal ia tiba di Hadhramaut. 

Banyak kenangan yang diperolehnya saat menimba ilmu di bawah asuhan para ulama Hadhramaut. Kesempatan selama berada di sana benar-benar tak disia-siakannya. Selain duduk bersama para ulama untuk menimba ilmu dari mereka, ia juga kerap mendatangi mereka untuk meminta ijazah, baik sanad maupun awrad.

Sewaktu di Hadhramaut, selain ijazah dari gurunya sendiri di Rubath Tarim, yaitu Habib Hasan dan Habib Salim, ia juga mendapatkan ijazah dari Habib Abdullah Bin Syihab dan Habib Umar Bin Hafidz.

Dua tahun setelah tinggal di Hadhramaut, Habib Husen berniat untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia berangkat dari Hadhramaut. Ada kejadian aneh yang ia rasakan pada waktu itu. Di depan Ka’bah, saat ia tengah berthawaf, seseorang mendekatinya dan tiba-tiba memeluk erat dirinya. Ia pasrah saja. 

Sesaat setelah dipeluk, ia heran, orang itu tak lagi terlihat, tenggelam di lautan massa yang ada di sekitar Ka’bah. Setelah itu, ia mendapati di kantungnya ada uang 100 riyal. “Mungkin orang yang tadi itu yang memberikan, tapi kenapa ya dia memberikan uang itu?” tanyanya dalam hati ketika ia mengisahkan kejadian itu.

Sesaat kemudian, ia teringat, beberapa waktu sebelumnya, ia baru saja memberi uang 10 riyal untuk seorang musafir yang berasal dari Indonesia. Ia pun teringat bunyi sebuah hadits Nabi yang bermakna bahwa siapa berbuat kebajikan, Allah SWT akan membalasnya sepuluh kali lipat.  “Allah SWT memang tak pernah mengingkari janjiNya,” gumamnya kemudian.


Jubah Habib Salim

Di Hadhramaut, walaupun tak jarang yang dibaca adalah kitab-kitab permulaan seperti kitab Safinah an-Najah, karena mereka (para ulama Tarim) hadir dan duduk di sebuah majelis ilmu bukan hanya untuk ilmu semata-mata, tapi juga untuk ibadah dan menjalankan perintah Allah, terasa sekali keberkahannya.

“Inilah keistimewaan ulama-ulama Hadhramaut, berilmu, beramal, dan tawadhu’. Berbeda dengan sebagian orang yang jika sudah dianggap ustadz tidak mau lagi mendengar kata-kata orang lain,” kata Habib Husein.

Setelah beberapa tahun lamanya tinggal di Hadhramaut, Habib Husein berencana untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karenanya, ia pun hendak mendatangi Habib Salim. Untuk berpamitan.

Habib Salim mengizinkannya pulang dan bahkan memberikannya banyak ijazah, sanad, dan wirid. Selain itu, Habib Salim juga memberinya sebuah jubah. Habib Salim menyuruhnya untuk mencoba mengenakannya terlebih dulu.

Setelah dicoba, ia merasa sangat terkesan. Sebab, sebelum diserahkan kepadanya, jubah itu dilipat Habib Salim sendiri. Rupanya Habib Salim ingin sambil mengajarinya melipat jubah. “Begini cara melipat jubah,” ujar Habib Salim kala itu.

Ia benar-benar merasa terkesan dengan apa yang dilakukan gurunya itu. Baginya, itu adalah pelajaran yang sangat bermakna. Pelajaran tentang bagaimana seseorang harus mempunyai semangat untuk idkhalussurur (menyenangkan hati orang lain) dan juga pelajaran untuk bersikap tawadhu’.

Siapa yang tidak senang? Sudah dikasih hadiah, diberi penghormatan pula seperti itu oleh orang sebesar Habib Salim? Begitu pula tentang ketawadhu’an Habib Salim yang ia saksikan langsung. Padahal, saat itu ada khadamnya dan orang-orang lain yang sewaktu-waktu selalu siap menerima perintah Habib Salim.


Madinah Ar-Rasul

Setelah pulang dari Hadhramaut, semangatnya dalam mencari ilmu masih terus terjaga. Ia sempat kuliah dan tahun ini ia baru saja menggondol gelar sarjana. Ayah dua putra, M. Mahdi dan M. Nagib, ini kini mulai aktif mengajar dan berdakwah. 

Saat ini ia mengajar di Pesantren Miftahul Muta’allimin (putra) dan Raudlatul Banat (putri), Babakan Ciwaringin, Cirebon. Ia juga aktif mengasuh majelis ta’lim di beberapa tempat lainnya. Dan aktivitas utamanya adalah menjadi pengasuh dalam Majelis Ta’lim wal Maulid Madinah Ar-Rasul, yang ia dirikan pada tahun 2007.

Madinah Ar-Rasul bermakna Kota Sang Rasul. Nama ini pertama kali ia dapat ketika masih belajar di Ribath Tarim. Saat ia membaca sebuah kitab sirah Nabawiyah, matanya tertuju pada sebuah kalimat yang di dalamnya ada kata-kata “madinatur rasul”.

“Nama ini bagus juga kalau suatu saat saya mendirikan dan membina sebuah majelis,” pikirnya saat itu kala ia berkisah. Dan kini, harapannya itu menjadi kenyataan.

Nama itu dipilih Habib Husein dengan harapan bahwa majelisnya ini akan semakin membumikan ajaran syari’at Rasulullah SAW di bumi Cirebon.

Sebagai sebuah organisasi, Madinah Ar-Rasul tentu mempunyai visi. Dan misinya itu adalah mencerdaskan umat, menjaga amalan para salaf, dan menguatkan ukhuwah Islamiyah.

“Karena, dengan adanya perkumpulan seperti ini, kita dapat saling mengenal, saling mengunjungi, dan bekerja sama,” kata Habib Husen lebih lanjut.

Beberapa waktu silam, ketika Habib Salim datang, ia menyampaikan ke Habib Salim bahwa ia mendirikan majelis dan menamakannya dengan nama itu. 

Habib Salim pun mengatakan, “Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan, yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.”

Pada awalnya, Madinah Ar-Rasul hanya diikuti oleh masyarakat sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, majelisnya itu kini telah berkembang ke beberapa daerah, bahkan hingga ke luar Kabupaten Cirebon. Ya, Madinah Ar-Rasul sudah mempunyai beberapa cabang.

Selain ia sendiri, ia juga mengajak saudara-saudaranya, seperti kakaknya, Habib Abubakar, yang pernah di Mesir dan Darul Musthafa Tarim, dan adiknya, Habib Muhammad, yang lulusan Universitas Al-Ahqaf, Hadhramaut. Rekan-rekannya, baik yang dari Ribath Tarim maupun Darul Musthafa Tarim, juga kerap mengisi acara di majelisnya tersebut. Dan tak lupa, para kiai Cirebon dan sekitarnya juga ia ajak turut serta.


Jaminan Penuntut Ilmu

Selama alKisah berbincang dengan Habib Husein, ia banyak bertutur tentang keistimewaan menuntut ilmu. Diantara yang disampaikannya,

“Allah SWT saja berkata kepada Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad): Ya Allah, tambahkanlah untukku ilmu.  Lihat saja, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya meminta tambahnya ilmu. Ini merupakan bukti bahwa ilmu adalah perkara yang paling mulia.Bukan itu saja, bahkan, dengan mencari ilmu, kita akan mendapat jaminan khusus dari Allah tentang rizqi, sebagaimana dalam atsar disebutkan,

Sesungguhnya Allah menjamin rizqi para pencari ilmu.  Mengenai hal ini, shahiburratib, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, mengatakan, ‘Ini adalah tanggungan yang khusus bagi pencari ilmu, sehingga pencari ilmu akan mendapat kemudahan dan dipercepat untuk memperoleh rizqi dan kekayaan.’ 

Mencari ilmu juga dapat mencegah matinya hati. Karena, sebagaimana badan memerlukan makanan, demikian juga hati dan ruh kita. Contohnya, orang yang dicegah dari makan, minum, dan berobat, tentunya ia akan mati. Begitu juga hati kita, bila dicegah dari hikmah dan ilmu, cobalah tiga hari saja, ia pun akan mati. Karena makanan hati adalah hikmah dan ilmu.

Dengan alasan itu saya mengatakan kepada jamaah, ‘Kalau kita ingin sukses dunia-akhirat, rutinlah mengikuti majelis-majelis ilmu. Di samping jangan lupa dengan kewajiban-kewajiban yang harus dinomorsatukan, seperti shalat, puasa, dan seterusnya.’

Jadi, sangat keliru, jika ingin sukses dunia-akhirat, kita tidak menjaga kewajiban-kewajiban yang Allah tentukan untuk kita dalam urusan agama.

Perlu pula diingat, sukses itu bukan hanya dari segi yang zhahir di dunia. Lebih dari itu, kita harus sukses di akhirat. Jadi, belum pasti orang yang punya kedudukan dan kekayaan di dunia, bahkan orang alim sekalipun, menjadi orang sukses di akhirat. Karena orang alim pun bisa celaka, seperti dikatakan dalam kitab Az-Zubad, ‘Orang yang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa sebelum para penyembah berhala’.

Jadi, dengan hadir dalam kegiatan-kegiatan ta’lim dan dzikir, seperti salah satunya yang diadakan oleh Madinah Ar-Rasul, insya Allah kita akan sukses dunia-akhirat.”

Jam'iyyah Ta'lim & Maulid MADINAH AR-RASUL

Pelindung dan Penasehat:
1.      Al-Habib Salim As-Syathiri (Yaman)
2.      Al-Habib Syarif Toha Yahya (Arjawinangun Cirebon)
3.      Al-Habib Syarif Hud Yahya (Babakan Cirebon)
4.      Al-Habib Syarif Tohir Yahya (Pegagan Cirebon)
5.      Al-Habib Syarif Utsman Yahya (Kempek Cirebon)
6.      Al-Habib Luthfi (Pekalongan)

Khodimul Jam'iyyah:
1.      Al-Habib Syarif Husain bin H. Syarif Hud Yahya





K.H. AMIN SEPUH (Babakan Ciwaringin Cirebon)



K.H. AMIN SEPUH (Babakan Ciwaringin Cirebon)



Diceritakan disebuah majelis, almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa Perlawanan Rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?”

Melihat tak satupun diantara yang hadir dalam majelis itu dapat menjawab, pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib, “Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, Mengapa tidak diizinkan? ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga Langit Surabaya, Beliau Adalah KH. ABBAS ABDUL JAMIL dari pesantren buntet Cirebon dan KH AMIN SEPUH dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.”

KH Amin Sepuh adalah seorang ulama legendaris dari Cirebon, selain dikenal sebagai ulama, beliau juga pendekar yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan, Beliau juga seorang pakar kitab Kuning sekaligus jagoan perang.

Kiyai Amin bin Irsyad, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiyai Amin Sepuh, lahir pada Hari jum’at 24 Djulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Beliau adalah AHLUL BAIT, dari silsilah Syech Syarif Hidayatullah. (Baca Siilsilah Bani Amin, KH. Mudakkir)

Kiyai Amin kecil yang belajar kepada ayahnya kiyai Irsyad (wafat di Mekkah) adalah contoh santri kelana tulen, yang berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu dari para ulama yang mumpuni. Setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dari sang ayah, dan ilmu kanuragan tentunya, beliau dipindahkan kepesantren Sukasari, Plered, Cirebon dibawah asuhan Kiyai Nasuha, setelah itu pindah kesebuah pesantren di daerah Jatisari di bawah bimbingan Kiyai Hasan.

Beliau juga sempat mesantren di Pesantren Kaliwungu Kendal (kakak angkatan KH.Ru’yat), lalu ke Pesantren Mangkang Semarang.

Berikutnya Beliau pindah kesebuah pesantren Jawa Tengah Tepatnya daerah Tegal, yang diasuh oleh Kiyai Ubaidah.

Lalu pindah lagi kepesantren yang waktu itu sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Bangkalan Madura, belajar pada Hadratusy Syeh KH. CHOLIL, beliau di bawah asuhan Kiyai Hasyim Asy’ari, pendiri NU (waktu itu KH. Hasyim Asy’ari masih Tahassus/Ustadz pada KH Cholil). Yang kemudian diteruskan di Pesantren Tebuireng Jombang, Beliau takhassus/mengabdi pada KH. Hasyim Asy’ari, karena sama-sama alumni KH. Cholil Bangkalan.

Belum kenyang belajar di Pesantren Tebuireng, Beliau bertolak ke tanah Arab, untuk memperdalam ilmu, di negeri ini beliau sempat belajar kepada Kiyai Mahfudz Termas Asal Pacitan, Jawa Timur, Salah seorang ulama nusantara Kesohor di Kota Makkah.

Sebagai santri yang sudah cukup matang, di waktu senggang beliau banyak ditugasi untuk mengajar para santri Mukim (pelajar Indonesia yang tinggal di Makkah).

Pada Masa penjajahan, para santri Kelana inilah yang menjadi mediator antar pesantren untuk melawan penjajah. Sementara pesantren di manapun adanya selalu menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah, para santri kelana ini menyebarkan informasi dari satu tempat ketempat yang lain dari satu pesantren kepesantren yang lain. tak jarang mereka juga yang memimpin perlawanan.

Berdasar amanah ayahandanya, Kiyai Irsyad, (yang masih cucu dari Ki Jatira/pendiri Pesarean Babakan Ciwaringin Cirebon, dari pihak ibu), Kiyai Amin agar belajar di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin pada Kiyai Ismail bin Nawawi yang juga masih keturunan Kiai Jatira (pendiri Pesarean Babakan Ciwaringin Cirebon). Berarti Kiai Amin Sepuh dan Kiai Jatira sama-sama dari Mijahan, Plumbon, Cirebon dan masih berhubungan cicit.

Ketika mesantren di Babakan Ciwaringin Beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai mengaji.  Beliau kemudian takhassus /Pengabdian di pesantren ini lalu dinikahkan dengan keponakan dari Kiyai Ismail.

Setelah Kiyai Ismail wafat, tepatnya tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin diteruskan oleh muridnya yang menjadi menantu keponakannya yakni Kiyai Muhammad Amin bin Irsyad, yang lebih dikenal Kiyai Amin Sepuh karena keilmuannya dan berasal dari tempat yang sama dengan leluhur dan moyangnya, Kiyai Jatira, dari Mijahan.

Bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh serta upaya mengikuti perkembangan islam yang terjadi di timur tengah pada umumnya mulailah Kiyai AMIN SEPUH memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya itu, dengan penuh kesungguhan.

Kiyai Muda Energik ini, selain mengajarkan berbagai Khazanah kitab kuning juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Meski demikian, Seperti halnya pada kebanyakan pesantren, ilmu fiqih tetap menjadi kajian yang sangat diprioritaskan, sebab ilmu ini menyangkut tata kehidupan sehari-hari masyarakat dan individu, dengan sikafnya itu Kiai Amin semakin dikenal di seluruh Jawa sebagai seorang ulama yang sangat alim dan berpemikiran Progresif.

Pasca Revolusi Kemerdekaan beliau terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang. Bahkan yang dahsyat adalah ketika Agresi Belanda II, tepatnya tahun 1952 Pondok Pesantren diserang Belanda. Dikarenakan KH. Amin Sepuh sebagai sesepuh cirebon merupakan pejuang yang menentang penjajah. Pondok dibakar dan dikepung. Para santri pergi dan para Pengasuh beserta keluarga mengungsi.

Dua tahun kemudian, tahun 1954, Kiyai Sanusi yang masih salah satu murid KH. Amin Sepuh adalah orang yang pertama kali datang dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, termasuk kitab-kitab karya KH. Amin Sepuh, habis dibakar, bangunan hancur dan nampak angker. Semua itu secara bertahap dibereskan lagi.

Tahun 1955 KH. Amin Sepuh kembali ke Babakan, kemudian para santri banyak berdatangan dari berbagai pelosok. KH. Amin sepuh yang menjadi pengasuh Pondok Gede kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya. Santri Beliau yang makin lama makin meluap. Pondok Raudhotut Tolhibin tidak dapat menampung para santri. Hingga santrinya dititipkan di rumah-rumah ustadznya seperti KH. Hanan, di rumah KH. Sanusi, dsb. hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini. Sehingga Pondok yang awalnya hanya satu (Ponpes Raudlotut Tholibin) sekarang menjadi banyak. Alhamdulillah, tahun 2012 terdapat sekitar 40 Pondok di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Pada masa pengasuhan KH. Amin Sepuh, Pondok Gede Babakan mencapai kemasyhuran dan masa keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal, hampir semua Kiyai sepuh di wil 3 Cirebon bahkan menyebar ke pelosok Indonesia adalah muridnya, sebut saja Kang Ayip Muh (kota Cirebon), KH. Syakur Yassin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH. Hannan, KH Sanusi, KH.Machsuni (Kwitang), KH Hassanudin (Makassar), di Babakan sendiri muridnya mendirikan pesantren seperti : KH. Muhtar, KH Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas, KH Syarif Hud Yahya..dll.

Bahkan ribuan Mutakharrijin/alumni telah tersebar di seluruh penjuru tanah air, dengan bermacam profesi dan jabatan di masyarakat maupun lembaga pemerintahan, baik sipil maupun militer, dari mulai Kepala Kantor Kementrian Agama Kota/Kabupaten sampai Kepala Kantor wilayah Kemenag Propinsi, dari Dekan, Direktur Pasca Srjana sampai rektor Perguruan Tinggi, dari Kapolres sampai Kapolda, dari Camat sampai Gubernur dan ribuan pula yang telah menjadi pemimpin di masyarakat dan Pengasuh Pondok Pesantren (Mama Tua, Karya Muhammad Mudzakkir)

Untuk artefak pesantren Babakan Ciwaringin (Raudhotut Tholibin) sendiri masih eksis, sejak KH. Amien Sepuh wafat pada tahun pada tahun 1972 dan KH. Sanusi wafat pada tahun M.1974 M, dan kepengurusan dilanjutkan oleh KH. Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.

Setelah wafatnya KH. Fathoni Amin kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH. Bisri Amin ( wafat tahun 2000 M.) beserta KH. Fuad Amin ( wafat tahun 1997 M.) dan KH. Abdullah Amin ( wafat tahun 1999 M.) serta KH. Amrin Hanan ( wafat tahun 2004 M.) dan KH. Azhari Amin (wafat tahun 2008 ) KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat pada tahun 2010. setelah wafatnya KH. Drs Zuhri Afif Amin, kepengurusan dilanjukan oleh cucu-cucu KH. Amin Sepuh dan Ulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan pesantren. Bahkan bukan pendidikan agama saja yang mereka terapkan, pendidikan umumpun mereka terapkan terhadap para santrinya. Dengan harapan, para santrinya dapat memenuhi semua kewajibannya, baik kewajiban dunia maupun akhirat, serta menyelaraskannya beriringan dan seimbang.

KH AMIN SEPUH Wafat pada Selasa 16.10, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 1392 H atau 20 Mei 1972 M, diusia yang hampir seabad. karyanya Abadi…
Sumber:


·         Silsilah Bani Amin, KH. Mudzakkir, 2008
·         30 Kisah Teladan, KH. Abdurrahman Arroisy.
·         Majalah Pengabdian Ummah, Jogyakarta.
·         Putra-putri KH. AMIN SEPUH.
·         Alumni Babakan.


semoga bermanfaat dan menambah nambah rasa kecintaan kita kepada Para Ulama.