Selamat Datang di Taman Biografi Ulama dan Habaib. Barakallahu Lana wa Lakum

Selamat Datang di Taman Biografi Ulama dan Habaib. Barakallahu Lana wa Lakum

Kamis, 24 Januari 2013

MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW.



MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW.

Banyak riwayat yang berbeda tentang berapa jumlah putra-putri Rasulullah Saw. Ada yang mengatakan 6 atau 7 atau 11 dan 12. Di sini tidak akan menulis panjang lebar riwayat-riwayat tersebut, karena yang paling shahih adalah 7; 3 putra  dan 4 putri. Semua putra-putri Rasulullah Saw. terlahir dari Sayyidah Khadijah al-Kubra Ra. kecuali satu satu yaitu Sayyid Ibrohim.

Selengkapnya nama putra-putri Rasulullah Saw. Adalah:
·         Putra          : Ibrahim, Qasim dan Abdullah.
·         Putri          : Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fathimah.

Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang dilahirkan sebelum kenabian. Ibrahim tidak berusia panjang, dia hidup hanya sampai seusia bisa berjalan. Pendapat lain menyatakan beliau hanya sampai usia 2 tahun.

Menurut riwayat Mujahid, Ibrahim hanya hidup cuma tujuh hari saja, namun riwayat ini dianggap keliru oleh Imam Ghallaby (Imam Fadhl bin Ghassan al-Ghollaby al-Baghdady. Seorang Muhaddits, Muarrikh yang wafat pada tahun 245 H. Rujuk ke kitab Mu'jam al-Muallifiin juz 8 halaman 71 dan kitab Hadiyyat al-'Arifiin juz 1 halaman 181), beliau mengatakan bahwa yang benar adalah Ibrahim hidup selama 17 bulan.

Ibnu Faris berkata bahwa Ibrahim hidup sampai ia bisa naik kendaraan (onta atau kuda) dan meninggal sebelum bi'tsah.

Dalam kitab al-Mustadrak karya al-Faryabiy (Imam al-Faryaby adalah Ja'far bin Muhammad bin Hasan bin Mustafadh Abubakar al-Faryaby. Masa hidup beliau antara 207-301 H. Beliau seorang Qadhi dan Muhaddits. Rujuk ke kitab al- A'laam juz 2 halaman 127 atau kitab Syadzaraat adz-Dzahab juz 2 halaman 235 atau kitab Tarikh Baghdad juz 7 halaman 199 atau Tadzkirat al-Huffadz juz 2 halaman 692 dan Mu'jam al-Buldan juz 6 halaman 372). Beliau mengatakan tidak ada dalil atau bukti akurat bahwa Ibrahim meninggal dalam masa Islam. Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang meninggal dunia.

Sedangkan Zainab adalah putri Rasulullah Saw. yang paling besar diantara anak perempuan Rasulullah Saw. yang lain, dan ini tanpa ada ikhtilaf. Yang terjadi ikhtilaf  (kontrofesi) hanya pada apakah Zainab dilahirkan sebelum Qasim ataukah Qasim dulu baru Zainab. Menurut Ibnu Ishaq, Zainab lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. menemui masa Islam dan ikut berhijrah. Zainab wafat tahun  8 H di pangkuan suaminya (anak laki-laki dari bibi Zainab sendiri) yaitu Abul 'Ash Laqith, ada yang mengatakan namanya adalah Muhsyam bin Rabi' bin Abdul 'Uzza bin Abdu asy-Syams.

Zainab mempunyai putra bernama Ali tapi meninggal saat masih kecil dan belum baligh. Rasulullah Saw. pernah memangku Ali naik kendaraan pada saat Fathu Makkah. Kemudian lahir pula dari Zainab ini Umamah, dimana Rasulullah Saw. pernah membawanya sholat Shubuh dan berada di pundak Rasulullah Saw. Saat Rasulullah Saw. ruku', Umamah pun diletakkannya dan ketika bangun dari sujud untuk melanjutkan rakaat berikutnya Umamah pun diangkatnya kembali di pundak beliau Saw. (Lihat dalam Shahih Muslim Bab al-Masajid, hadits no. 42, Shahih Bukhori Kitab al-Adab Bab 18 hadits no. 5696, Abu Dawud Kitab Sholat Bab 165 hadits no. 918 dll). Zainab ini pada akhirnya dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fathimah az-Zahra.

Putri Rasulullah Saw. yang bernama Ruqayyah lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. Menurut Zuber bin Bakr dan lainnya bahwa Ruqayyah adalah perempuan yang paling besar diantara putri-putri Rasulullah Saw. Pendapat ini dishahihkan oleh al-Jurjany. Namun yang paling shahih adalah sebagaimana mayoritas ulama mengatakan Zainab adalah anak perempuan Rasulullah Saw. yang paling besar dintara putri Rasulullah Saw. lainnya.

Ruqayyah menikah denga 'Utbah bin Abu Lahab dan adiknya Ummu Kultsum menikah dengan saudara 'Utbah sendiri yaitu 'Utaibah. Ketika turun ayat:

تبت يدا أبى لهب وتب

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa". (QS. al-Lahab ayat 1).

Abu Lahab berkata kepada kedua anaknya: “Kalian akan aku bunuh jika tidak berpisah dengan kedua anak Muhammad.”  Lalu keduanyapun menceraikan masing-masing istrinya dan belum sempat mendukhul/menjima'nya.

Utsman bin 'Affan lalu menikahi Ruqayyah di Makkah. Beliau bersama istrinya Ruqayyah ikut hijrah dua kali bersama Rasulullah Saw. ke bumi Habsyah (Afrika). Ruqayyah adalah salah seorang putri Rasulullah Saw.yang parasnya cantik. Ruqayyah wafat pada saat ayahanda tercintanya yaitu Rasulullah Saw. sedang berjihad dalam perang Badr. Dalam riwayat Ibnu Abbas, ketika Rasulullah Saw. ta'ziyah setelah selesai berjihad dan datang ke rumah putrinya, beliau Saw. bersabda:

الحمد لله دفن البنات من المكرمات

“Segala puji bagi Allah yang telah mengambil diantara wanita-wanita yang teramat mulia, yakni Ruqayyah". (HR ad-Daulaby dalaam Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdady juz 5 halaman 67 dan 7.291 atau kitab Tahdzib Tarikh Dimasyqy karya Ibnu Asakir juz 1 halaman 298 dan juz 7 halaman 279, Hilyat al-Auliya juz 5 halaman 209, dan Tafsir al-Qurthuby juz 17 halaman 82 dll).

Putri Kanjeng Rasulullah Saw. yang bernama Ummu Kultsum menikah dengan 'Utsman Bin 'Affan pada tahun 3 H. Ummu Kultsum wafat pada tahun 9 H. Rasulullah Saw. sendiri yang menjadi imam sholatnya. Sedangkan yang menggali kuburan adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl dan Usamah bin Zaid.

Dalam Shahih Bukhori dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. ketika berada di samping kuburan Ummu Kultsum, nampak kedua mata beliau menitikkan air mata. Lalu beliau berkata: "Siapakah diantara kalian yang bersedia meletakkan jasad putriku ke dalam liang lahat?"

Lalu Abu Thalhah berkata: "Saya Ya Rasulallah."

Kemudian Rasulullah Saw. pun memerintahkan Abu Thalhah untuk turun ke kuburan.

Sedangkan Fathimah az-Zahra al-Batul menurut Abu Umar dilahirkan tahun 41 setelah kelahiran Rasulullah Saw. Ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwa beliau berkata: “Semua putra-putri Rasulullah Saw. dilahirkan sebelum nubuwwah kecuali Ibrahim.” Menurut Ibnu al-Jauzy bahwa Fathimah az-Zahra al-Batul dilahirkan 5 tahun sebelum nubuwwah.

Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa putri Rasulullah Saw. yang bernama Fathimah ini, disebut Fathimah (menjaga/menutupi/melepas) karena Allah Swt. telah menjaga Fathimah beserta keluarganya dari neraka kelak pada hari kiamat. (HR. Al-Hafidz d-Dimasyqiy). Sedangkan menurut riwayat al-Ghassany dan al-Khathib karena Allah Swt. menjaga Fathimah dan orang-orang yang mencintainya dari nerka. (Lihat Imam as-Suyuthi dalam Jam' al-Jawami' no. 7780 atau Kanz al-Umal no.. 34227 dan Tanziih asy-Syari'ah karya Ibnu al-'Iraqiy juz 1 halaman 413).

Sedangkan Fathimah disebut al-Batul (terputus/terpisah) karena Fathimah berbeda dengan wanita-wanita lain di masanya baik dalam soal agama, keutamaan dan keturununanya. Menurut pendapat lain karena Fathimah adalah wanita yang melepaskan hatinya dari dunia dan selalu asyik dengan Allah. Demikian menurut Ibnu al-Atsir.

Fathimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun ke-2 Hijriyyah. Pendapat lain mengatakan setelah terjadi perang Uhud. Pendapat lainnya mengatakan Fathimah menikah dengan Sayidina Ali 4,5 bulan setelah Rasulullah Saw. menikahi 'Aisyah. Pendapat lain mengatakan terjadi di bulan Shafar tahun 2 H. Dan masih ada beberapa riwayat lain yang berbeda.

Saat menikah dengan Ali bin Abi Thalib, usia Fathimah az-Zahra adalah 15 tahun 5 bulan setengah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib usianya 21 tahun 5 bulan. Ada riwayat lain juga yang berbeda.

Menurut Abu Umar Fathimah dan Ummu Kultsum adalah paling utama-utamanya putri Rasulullah Saw. Fathimah adalah putri Rasulullah Saw. yang sangat dicintai oleh Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw. hendak bepergian, beliau lebih dulu mencium putrinya Fathimah. Begitupun setelah pulang dari bepergian,Fathimah lah yang lebih dulu ditemui oleh Rasulullah Saw.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda: "Fathimah adalah bagian dariku. Barangsiapa memurkainya berarti telah memurkaiku." (HR. Bukhari no. 3417, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 3 halaman 158, as-Sunan al-Kubra Imam Baihaqiy juz 7 halaman 64 dll).

Dalam hadits lainnya Rasulullah Saw. berkata kepada putri tercintanya ini: “Fathimah apakah engkau ridho bahwa engkau adalah pemimpin dari seluruh wanita mukmin.” (HR. Muslim no. 98, Musykil al-Atsar karya ath-Thahawy juz 1 halaman 51, Ithaf as-Sadat al-Muttaqin karya az-Zabidy juz 6 halaman 244 dll).

Sedang dalam riwayat Ahmad Rasulullah Saw. bersabda: “Fathimah adalah paling utamanya wanita surga.” (HR. Ahmad juz 3 halaman 80 dan juz 5 halaman 391 dll).

Fathimah az-Zahra al-Batul wafat 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 11 H. Wafat dalam usia 29 tahun.

Pernikahan Fathimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib melahirkan Hasan, Husein dan Muhassin (ada yang mengatakan Muhsin). Muhassin meninggal saat masih kecil, kemudian Ummu Kultsum dan Zainab.

Rasulullah Saw. tidak punya keturunan selain dari putrinya Fathimah ini yang kemudian nasab Rasulullah Saw. yang mulia ini tersebar melalui Sayyidinaa Hasan dan Husein. Sehingga jika dinisbatkan kepada keduanya, maka muncul al-Hasany dan al-Husainy. Diantara generasi pertama dari Dzurriyyah Sayyidina Husein adalah keluarga Ishaq bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib al-Ishaqy. Yang kemudian disebut al-Husainy al-Ishaqy.

Ishaq ini adalah suami sayyidah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Terlahir dari sini dua orang yaitu Qasim dan Ummu Kultsum, namun tidak punya keturunan.

Kemudian Umar bin Khaththab menikahi Ummu Kultsum binti Fathimah mempunyai dua anak yang bernama Zaid dan Ruqayyah namun tidak punya keturunan. Kemudian Ummu Kultsum menikah lagi setelah wafatnya Umar bin Khaththab dengan 'Aun bin Ja'far.

Setelah 'Aun meninggal Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudaranya 'Aun sendiri yaitu Muhammad bin Ja'far. Lalu Muhammad bin Ja'far pun wafat. Setelah wafatnya Muhammad bin Ja'far,Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudara dari 'Aun dan Muhammad ini yaitu Abdullah bin Ja'far lalu dengan yang terakhir ini Ummu Kultsum wafat.

Dari ketiga saudara yang menikahi Ummu Kultsum ini tidak ada yang memberi keturunan, hanya satu dari Muhammad bin Ja'far yaitu anak perempuan kecil yang akhirnya tidak juga punya keturunan.

Setelah wafatnya Ummu Kultsum, maka Abdullah bin Ja'far pun menikahi saudara perempuan Ummu Kultsum yang bernama Zainab binti Fathimah dan mempunyai beberapa orang anak diantaranya adalah Ali dan Ummu Kultsum. Ummu Kultsum yang ini menikah dengan anak pamannya sendiri yang bernama Qasim bin Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib, dan punya beberapa anak diantaranya Fathimah yang kemudian dinikahi oleh Hamzah bin Abdullah bin Zuber bin Awwam yang juga punya keturunan.

Jadi di sini ada kesimpulan penting bahwa keturunan dari Abdullah bin Ja'far tersebar melalui Ali dan adiknya Ummu Kultsum yang dua-duanya ini terlahir dari rahim Zaenab binti Fathimah az-Zahra.

Dzurriyyah yang datang setelahnya dari keturunan ini biasa disebut dengan Ja'fary. Berarti jelas tak ada keraguan sedikitpun mengenai kemuliaan nasab ini. Bagaimanapun kemuliaan keluarga yang dinisbatkan kepada Ja'far ini tetap di bawah kemuliaan Dzurriyyah yang dinisbatkan kepada Sayyidina Hasan dan Husein. Laqab atau gelar Syarif (orang-orang mulia berdasar keturunan) ini juga diberikan pada golongan Abbas atau Abbasiyyun karena mereka berasal dari keluarga Bani Hasyim.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa golongan gelar Syarif diberikan kepada Abbasiyyin di Baghdad dan gelar  Alawy di mesir. Syarif dan Alawy maknanya sama yaitu mulia.

Wallahu al-Musta’aan

Sya’roni, Indramayu 13 Rabi’ul Awwal 1434 H

Surat Cinta Gus Dur kepada Ibu Sinta Nuriyah



Surat Cinta Gus Dur kepada Ibu Sinta Nuriyah



KH. Husein Muhammad suatu ketika, tepatnya pada hari Minggu tanggal 2 Februari 2012, beliau berkunjung ke kediaman almarhum Gus Dur. Begitu beliau tiba di rumah Gus Dur, ibu Sinta Nuriah menyodori sebuah kitab. Yang di foto inilah kitab tersebut.

“Aku baca. Nah, tulisan tangan (khath) Gus Dur sangat indah. Begitu juga isinya yang ditulis tahun 1966 dari Kairo”, ucap KH. Husein Muhammad dengan nada kagum.
           
            Al-Ustadz Aboe Muhammad Almakky menterjemahkan tulisan Gus Dur di atas sebagai berikut dengan sedikit editing dari Admin:


Dengan untaian kata cinta
untuk Sinta Nuriyyah Abdu asy-Syukur

Cairo: 6/9/1966

Abdurrahman Abdul Wahid

“Aku berharap, dengan terkirimnya buku ini kepadamu, kamu akan lebih mengetahui bahwa perputaran sejarah tentang "Tasyri' al-Islamy" yang detail dan benar sangatlah luas sekali, tidak akan bisa dicapai secara sempurna sampai rukun dan furu'nya, hanya dengan sekali pembahasan. Jadi kamu harus lebih bersungguh-sungguh mempelajarinya seperti target yang telah dicapai buku ini, sekarang dan di masa depan.

Ttd. Abdurrahman Abdul Wahid.



Lihat sumber aslinya di:


Dan lihat juga foto tulisan tangan Gus Dur di kitab yang lain di sini:




Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 12 Rabi’ul Awwal 1434 H

Rabu, 23 Januari 2013

Kisah Mbah Cholil Rembang dan Abah Dimyati Ro'is Kaliwungu



Kisah Mbah Cholil Rembang dan Abah Dimyati Ro'is Kaliwungu



Oleh: KH. Usman Arrumy

Demikianlah, Mbah Cholil adalah salah satu Kyai kharismatik sekaligus menjadi idola saya setelah ''KH. Dimyati Ro'is Kaliwungu'' yang memang merupakan guru dimana banyak sekali aku mencecap ilmu yang Abah Dim ajarkan.

Aku merasa beruntung bisa sempat mendengar taushiyah Mbah Cholil saat dimana beliau diundang Abah Dim di halaman Pesantren al-Fadlu Jagalan Kaliwungu dalam rangka Imtihan Akhirussanah, bahkan sebelum Mbah Cholil wafat beliau selalu mengisi  taushiyah tiap tahunnya di pondok yang diasuh Abah Dim itu. Karena mungkin Mbah Cholil dan Abah Dim mempunyai hubungan yang erat dimana saat keduanya sama-sama menjabat sebagai DPR RI.

Lebih dari itu, pernah saat Mbah Cholil menyampaikan taushiyah beliau ''gasaki'' (meledek) Abah Dim: “Kyai kok sandalnya jepit, kyai  itu seperti aku, sandalnya mahal harganya”, lalu santri-santri tertawa semua. Setelah Abah Dim yang naik podium Mbah Cholil gilirannya untuk digasaki dengan nada super guyon.

Melihat kedua kyai tersebut, aku sempat berdoa bernada memaksa: “Gusti mbok kulo didasoken kados beliau berdua, umpami mboten lajeng kulo bade dados nopo...” (Rabbi seyogyanya saya dijadikan seperti beliau berdua. Seumpama tidak seperti mereka lantas aku mau jadi apa...)..

Malah saya pribadi sempat didawuhi sendiri sama Abah Dim: “Awakmu kudu wani rekoso nak kepengen ilmumu barokah...” (Kamu harus berani hidup susah kalau ingin ilmumu berkah).

Salah satu dawuh beliau kepadaku yang lain adalah: “Awakmu ojo minder karo mahasiswa, ojo cilik ati karo wong seng wis nduwe title sarjana, aku wae seng ora nduwe ijazah SD iso dadi DPR RI 3 periode (15 tahun), aku siji-sijine wong sak ndunyo seng mlebu DPR tanpo nggowo ijazah.” (Kamu jangan minder dengan mahasiswa, jangan berkecil hati dengan orang yang memiliki titel sarjana. Aku saja tidak punya ijazah SD bisa menjadi DPR RI 3 periode/15 tahun. Aku satu-satunya orang yang ada di dunia ini yang masuk DPR tanpa menggunakan ijazah).

Begitulah cara Abah Dim memberi semangat kepadaku waktu aku sowan. Suatu ketika aku sowan kepada beliau bersama orang banyak dari segala lapisan, beliau dawuh: “Akhir-akhir iki aku kok jarang dikirimi fatihah”, (akhir-akhir ini kok saya jarang dikirimi al-Fatihah) sambil menatapku tajam dengan tatapan yang teduh. Memang saat itu sudah sekitar 10 hari aku tidak kirim al-Fatihah kepada beliau.

Dan masih banyak kisah yang aku alami bersama Abah Dim secara langsung, mudah-mudahan lain kali bisa menceritakan apa saja yang berkenaan dengan Abah Dim secara totalitas.

Kembali pada Mbah Cholil, Kyai yang saat masih muda terbilang ndablek (nakal) ini ternyata sampai tuanya juga masih MBELING, inilah sekelumit cerita tentang Mbah Cholil.

Sewaktu mondok di Lirboyo, partner mbeling terdekat Kyai Cholil adalah Gus Miek (Kyai Chamim Jazuli). Pernah, ditengah pelajaran Madrasah, Santri Cholil yang tempat duduknya didekat jendela, disapa Gus Mik dari luar.

“Keluar, Gus!” kata Gus Mik, setengah berbisik.

“Ada apa?”jawab Mbah Cholil.

“Nonton bioskop… ada filem bagus!” sahut Gus Miek.

“Masih pelajaran ini…” Mbah Cholil menjawab dengan nada ragu.

“Lompat saja!” timpal Gus Miek.

Ketika guru menghadap papan tulis, Santri Cholil melompat keluar dari jendela. Santri-santri lain tak berani menegur tingkah gus-gus itu.

Jauh di belakang hari, ketika Gus Miek sudah melejit reputasinya sebagai seorang wali keramat yang khoriqul ‘aadah, di tengah-tengah Konbes NU di Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumiddin, Kesugihan, Cilacap, seorang Kyai Kediri yang dulunya juga anggota geng santri mbeling di Lirboyo mendatangi Kyai Cholil di penginapan. “Dapat salam dari Gus Miek, Gus”.

“Lhah, dia nggak ikut Konbes?” balas Mbah Cholil

“Datang sih…” Kyai itu melanjutkan.

“Mana orangnya? Kok nggak nemuin aku?” tanya Mbah Cholil penasaran.

“Nggak mau. Sampeyan tukang nggasak (tukang meledek) sih… kalau sampeyan ledek, bisa-bisa badar (gagal) kewaliannya…” jawab Kyai utusan Gus Miek itu.

***

Suatu kali, Mbah Lim almarhum (Kyai Muslim Rifa’i Imam Puro, Klaten) yang terkenal wali, datang mengunjungi Gus Mus. Seorang pendhereknya (santri yang mengikutinya) diutus untuk memberitahu Kyai Cholil.

“Mbah Lim ada di rumah Gus Mus, Yai”, kata si pendherek kepada Kyai Cholil, “Panjenengan dimohon menemui…”

“Nggak mau! Sama-sama walinya kok!” timpal Mbah Cholil.

Setelah dilapori, Mbah Lim segera beranjak menemui Kyai Cholil. “Sesama wali” berangkulan sambil tertawa-tawa.

“Wali anyar… wali anyar…”, kata Mbah Lim, “Bodong ‘ki… Bodong ‘ki…”

***


Konbes NU di Bandarlampung kebingungan memilih Rais ‘Aam baru. Kyai Achmad Shiddiq telah wafat, Kyai Ali Yafie mengundurkan diri. Kyai Yusuf Hasyim, calon terkuat, didelegitimasi keponakannya sendiri.

“Pak Ud itu bukan ulama, tapi zu’ama”, kata Gus Dur, “Beliau termasuk santri korban revolusi… ngajinya kocar-kacir!”

Konbes pun kehilangan arah. Dikerumuni wartawan, Kyai Cholil melontarkan statement, “Istikhoroh saja!”

“Bagaimana caranya?” wartawan bertanya penasaran.

“Pilih 40 orang kyai ahli riyadhoh (tirakat). Beri kesempatan mereka beristikhoroh. Sesudah itu, saling mecocokkan isyaroh yang didapat masing-masing…” jawab Mbah Cholil.

“Kalau diantara 40 kyai itu hasil istikhorohnya berbeda-beda bagaimana?” balas wartawan dengan nada tak puas.

“Ya divoting!” jawab Kyai Cholil mantap.
  
 ****

Demikianlah, semoga bermanfaat...

Diedit ulang oleh Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 12 Rabi’ul Awwal 1434 H