Kyai Sholeh Darat dan RA Kartini
Seusai
salah satu pengajian Tafsir al-Fatihah yang disampaikan Kyai Sholeh Darat yang
dilaksanakan di Pendopo Kabupaten Demak, seorang gadis usia belasan
memberanikan diri menemui sang Kyai. Ia adalah putri Bupati Jepara, salah
seorang wanita yang kini menjadi salah satu Pahlawan Nasional karena
dianggap telah berjasa memperdayakan perempuan, hingga namanya kini menjadi
ikon perjuangan emansipasi wanita di negeri ini. Dialah Ibu Kita Kartini.
“Romo Guru yang mulia!” Kartini membuka maksud. “Selama
hidup saya, barulah kali ini ananda sempat mengerti makna surat al-Fatihah,
induk al-Qur’an itu. Begitu besar rasa syukur ananda kepada Allah Swt. Namun
sayang Romo Guru, ananda tak habis pikir, mengapa selama ini kita belum menerjemahkan
al-Qur’an dalam bahasa Jawa? Bukankah al-Qur’an merupakan petunjuk bagi segenap
manusia?”
Kartini
menarik nafas dalam-dalam. Suasana sunyi. Kyai Sholeh Darat tersenyum mendengar
pertanyaan gadis yang terkenal kritis itu.
“Teruskan anakku!”. Pancing Kyai Sholeh.
“Jadi, hemat saya, orang-orang Jawa
seperti saya perlu mengerti dan memahami isi kitab suci itu, terutama melalui
jalan Eyang Romo Guru terangkan dalam pengajian tadi. Apalagi Ramanda saya ikut
bersyukur atas minat Amanda mendalami al-Qur’an. “
“Baiklah! Apakah ada pertanyaan
lagi, wahai anakku?”. Kyai Sholeh masih menangkap gurat
kegelisahan pada wajah Kartini.
“Begini Romo Guru. Khusus tentang
penerjemahan dan penafsiran al-Qur’an dalam bahasa Jawa itu, apakah ada
syarat-syarat bagi orang yang dianggap cukup sebagai ahli di bidang tersebut?”.
“Sungguh, anakku Kartini!. Tidak
sedikit bilangannya. Syarat-syaratnya sungguh berat. Antara lain, orangnya
harus menguasai Bahasa Arab yang khas dengan al-Qur’an lengkap dengan nahwu,
sharaf, badi’, ma’ani, bayan, balaghah, isti’arah, lengkap dengan keilmuan
lainnya”. Terang Kyai Sholeh Darat sambil
tersenyum.
“Tapi Romo Guru sudah ahli dan
menguasai ilmu-ilmu itu? Maka sekarang ananda mohon sudi kiranya Romo Guru
berkenan segera menulis untuk bangsa kita pada umumnya berupa kitab terjemah
dan tafsir al-Qur’an dalam Bahasa Jawa. Sebab hal itu akan menjadikan mereka
memahami bisikan suci dari kitab tuntunan hidup mereka. Dan Romo Guru akan
besar sekali jasanya”.
Mendengar
permintaan Kartini, raut wajah Kyai yang berseri itu, seketika tumpah air mata,
menangis haru mendengar permintaan gadis aristocrat itu.
Bermula
dari dialog di Pendopo Kabupaten Demak itu, setahun berikutnya kitab yang
diidam-idamkan Kartini terbit. Judulnya “Faidhurrahman fi Tafsir al-Qur’an”.
Kitab karya Kyai Sholeh Darat ini berukuran folio, dicetak pertama kali di
Singapura pada tahun 1894. Terdiri dari dua jilid. Kitab ini menjadi referensi
pribumi Jawa yang bermukim di tanah Melayu. Bahkan kaum muslimin di Pattani,
Tailand selatan juga memakai kitab ini. Ditulis dengan huruf Arab Pegon, kitab
tersebut dihadiahkan kepada RA Kartini sebagai kado pernikahannya dengan RM
Joyodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Rembang.
Kyai
Sholeh Darat wafat pada tanggal 28 Ramadlan 1321 H/18 Desember 1903 M. dimakamkan
di komplek pemakaman umum Bergota Semarang.
Kisah
ini adalah shahih, dinukil oleh Prof. KH. Musa Al-Machfud Yogyakarta, dari Kyai
Muhammad Demak, menantu sekaligus staf ahli Kyai Sholeh.
Sumber: Majalah Bulanan AULA Edisi
April 2012 hlm. 21
Blog ini bercerita tentang pertemuan ulama besar dan RA Kartini, komentarnya kok malah soal pesugihan ?. hallooo......gak nyambung bro....salah promosi kaleee
BalasHapus