Gus Dur Dan Wali
Mantan
Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah kedatangan tamu istimewa yang berpakaian
lusuh namun ternyata seorang wali. Menurut pengakuan salah satu santri Gus Dur
bernama Nuruddin Hidayat, setiap menerima tamu Gus Dur berpenampilan santai. Namun
suatu ketika Gus Dur pernah meminta untuk dipakaiakan baju takwa, kain sarung dan peci, seperti ketika mau sholat Idul Fitri.
suatu ketika Gus Dur pernah meminta untuk dipakaiakan baju takwa, kain sarung dan peci, seperti ketika mau sholat Idul Fitri.
Tamu
yang akan diterimanya itu ternyata dari Aceh menggunakan berpakaian sederhana,
dekil, dan memakai celana sebetis. Setelah keduanya bersalaman, Gus Dur dan sang
tamu duduk di karpet tetapi tak ada obrolan di antara keduanya. Gus Dur tidur, tamunya
juga tidur, suasana menjadi sunyi yang berlangsung sekitar 15 menit.
Setelah
sang tamu bangun, ia langsung pamit pulang, tak ada pembicaraan. Nuruddin
merasa penasaran, segera bertanya kepada Gus Dur setelah sang tamu pulang. Dia
kaget mendengar penjelasan Gus Dur bahwa tamu tersebut adalah wali dari Aceh
bernama
Tengku Beurahim Wayla dari Aceh Barat.
Tengku Beurahim Wayla dari Aceh Barat.
"Itu
Wali, tidak ada yang seperti beliau di Indonesia, adanya di Sudan,” ungkap Gus Dur. Sebagian masyarakat Aceh Barat menyebutnya
sebagai 'Dewa Tidur', yang menghabiskan hari-harinya dengan tidur. Tgk Ibrahim
Woyla juga bisa mengetahui perilaku seseorang dan sering sekali orang yang
menemui beliau dibacakan kesalahannya untuk diperbaiki.
Sebelum
terjadinya tsunami, Abu Ibrahim yang pernah mengatakan; air laut bakal naik
sampai setinggi pohon kelapa, terbukti tsunami. Tokoh kharismatik ini meninggal
pada Juli 2009 dalam usia 90 tahun di Desa Pasi Aceh, Woyla, Kabupaten Aceh Barat dan dikebumikan tak jauh dari rumahnya.
pada Juli 2009 dalam usia 90 tahun di Desa Pasi Aceh, Woyla, Kabupaten Aceh Barat dan dikebumikan tak jauh dari rumahnya.
Wali
memang kekasih Allah, tetapi diantara wali sendiri terdapat tingkatan-tingkatan.
Semakin tinggi tingkatan seorang wali, mereka yang posisinya lebih rendah akan
lebih menghormatinya.
Kali
ini, cerita salah satu karomah Gus Dur diungkapkan oleh KH. Said Aqil Sirodj
saat menjalankan umrah Ramadhan, ketika Gus Dur masih menjadi ketua umum PBNU.
Kang Said menuturkan setelah sholat Tarawih berjamaah, ia diajak oleh Gus Dur
untuk mencari orang
yang khowash (khusus), yang ibadahnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan malu mengharapkan pahala, meskipun itu tidak dilarang. Mereka sudah berprinsip, manusia
datangnya dari Allah, maka dalam beribadah, tak sepantasnya mengharapkan imbalan.
yang khowash (khusus), yang ibadahnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan malu mengharapkan pahala, meskipun itu tidak dilarang. Mereka sudah berprinsip, manusia
datangnya dari Allah, maka dalam beribadah, tak sepantasnya mengharapkan imbalan.
Berdua
bersama Gus Dur, mereka mengunjungi satu per satu kelompok orang yang member pengajian,
ada yang jenggotnya panjang, ada yang kitabnya setumpuk dan mampu menjawab segala
macam pertanyaan, ada yang jamaahnya banyak, tetapi semuanya dilewati.
Lalu
sampailah mereka di hadapan seorang Mesir yang sederhana, surbannya tidak
besar, duduk di sebuah sudut. Kang Said selanjutnya diminta oleh Gus Dur untuk
memperkenalkan dirinya sebagai Ketua Umum Nahdlatul Ulama dari Indonesia.
Tak
seperti biasanya, orang Mesir terkenal dengan keramahannya, biasanya langsung ahlan
wasahlan ketika menerima tamu, tetapi yang satu ini bersikap agak ketus
ketika ditanya. Kang Said menyampaikan niat dari Gus Dur untuk meminta sekedar
doa selamat dari orang tersebut. Setelah berdoa ia langsung lari, dan menarik
sajadahnya sambil berkata; “Dosa apa aku ya Robbi sampai Engkau buka
rahasiaku dengan orang ini”.
Kang
Said berkesimpulan bahwa orang tersebut merupakan wali yang sedang bersembunyi,
jangan sampai orang lain tahu bahwa ia adalah wali, tetapi ternyata kewaliannya
diketahui oleh Gus Dur, yang derajat kewaliannya lebih tinggi, dan ia merasa
rahasianya terungkap karena ia memiliki dosa.
Dari berbagai sumber
Sya’roni As-Samfuriy, 17 Dzul
Hijjah 1433
Tidak ada komentar:
Posting Komentar