BACALAH DENGAN HATI, BUKAN BENCI
MATAHARI TELAH PULANG
Merenungkan
Sufisme Gus Dur
Oleh
: KH. Husein Muhammad
(Tulisan
ini pernah dimuat di sejumlah media.
Ringkasannya menjadi
bagian dari buku “Gus Dur: Bertahta di Sanubari”, editor Anita Wahid,
diterbitkan oleh The Wahid Institute, Pebruari 2010. Republikasi ini memenuhi
permintaan keluarga, santri, sahabat, dan Gusdurian di desa, agar tulisan ini
diterbitkan di FB, untuk mengenang Gus Dur).
1.
Langit
Desember yang Murung
Jam 19.00, satu hari menjelang tahun 2009 berganti, HP
berdering mengganggu makan malam gratis saya di rumah makan “Jepun”, milik N,
sahabat saya. Jay, wartawan Koran Sindo mengkonfimasi kabar mengejutkan.
“Bagaimana Gus Dur, aku dengar beliau wafat”, katanya tegang. Dengan dada
berdegup, saya segera menghubungi A.W. Maryanto, teman yang selalu mendampingi
Gus Dur di Rumah Sakit. Jawabannya tak meyakinkan. Katanya: “Aku baru saja istirahat dan sekarang sedang
makan. Jam 17.00 tadi, 18 orang dokter khusus telah memeriksa kesehatan Bapak
dan beliau sudah baik”.
Tetapi saya penasaran. Yenni, putri kedua Gus Dur, saya
kontak. “Bapak meninggal, mbak Yenni di
dalam”, suara Innayah, putri bungsunya, lirih bergetar, tersekat. Dan saya
terkulai lemas. Langit 30 Desember 2009 tiba-tiba menjadi muram, murung.
Saya segera sms Ibu Shinta, isteri tercinta Gus Dur: “Ibu, saya sangat menyesal tidak berada di
samping bapak, seperti sebelumnya, mohon maaf”. Ya seperti sebelumnya
ketika Gus Dur beberapa kali berada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, saya
menjenguknya sekaligus mendo’akan kesembuhannya dengan segera. Dan saya merasa
mendapat kehormatan, ketika beliau meminta saya berdo’a bagi kesehatannya.
Dengan tetap berbaring di tempatnya, didampingi ibu Nur, isterinya yang setia
dan orang-orang yang hadir, Gus Dur dan mereka mengamininya.
“Kita harus berangkat
ke Jakarta sekarang juga”, kata saya kepada isteri. Sepanjang jalan dari
Cirebon ke Ciganjur, sms dari teman-teman dari segala macam identitas diri;
Kiyai, Santri, Abangan, Pendeta, Romo, Bhiku, penganut Konghuchu dan Ahmadiyah,
terus berhamburan masuk ke HP saya. Mereka menyatakan duka nestapa teramat
dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang dicintainya.
Saya tak mengerti mengapa mereka mengirim sms, selain ingin mengabari
saya tentang wafatnya Gus Dur dan mendo’akan bagi orang yang mereka kagumi dan
keluarga yang ditinggalkannya. Saya membalasnya singkat: “Dia yang selalu membagi kegembiraan, cinta
dan harapan pada bangsa, Negara dan mereka yang tak berdaya, telah kembali
kepada kekasihnya, dalam damai abadi”.
Dini hari yang sejuk, jam 03.00, ketika saya tiba, jalan
Warung Sila sampai rumah duka, karangan bunga berwarna-warni, tanda duka cita,
berjejer tak berjarak, berserak dan bertumpuk, bagi “Presiden ke 4”, bukan
“Mantan Presiden”. Saya tak bisa menghitung jumlahnya. Beberapa jam sebelumnya
jalan ini macet total. Ratusan kendaraan dan pejalan kaki seakan tak bergerak.
Stagnan. Semuanya sengaja datang ke Ciganjur, ke rumah Gus Dur, menyambut
kedatangannya dan menyampaikan ta’ziyah kepada keluarganya.
Ketika saya tiba, ribuan orang masih berjaga di ruang-ruang
di sekitar rumah. Masjid al-Munawwaroh, tempat Gus Dur mengaji kitab “al-Hikam”,
karya Ibnu Athaillah, seorang sufi besar, dan kitab-kitab yang lain, masih
gemuruh dengan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Saya segera masuk rumah.
Jenazah sudah dibaringkan. Wajah Gus Dur yang tertutup kelambu putih yang
tipis, terlihat jelas, seakan-akan sengaja dibiarkan demikian agar para
pelayat bisa melihatnya. Saya segera mendapat giliran entah untuk yang ke
berapa puluh kali, memimpin shalat janazah, tahlil dan berdo’a.
Di hadapan tubuh yang masih utuh itu, saya teringat kata-kata
dalam sebuah buku tasawuf : “Ketika jiwa
pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa serta bersamanya hasrat-hasrat rendah
duniawi yang menciptakan ketergantungan, yang selama hidupnya selalu dihindari
dan tak pernah dibiarkan menguasi diri; menjadi diri sendiri dan menempatkan
perpisahan jiwa dari badan sebagai tujuan dan bahan permenungan… maka jiwa itu
telah siap untuk memasuki wilayah kasat mata (‘Alam al-Musyahadah) dimana para bijak-bestari tinggal”.
Ya, itulah jiwa yang telah matang. Ia yang hatinya telah
menjadi hati orang-orang yang ditinggalkannya, yang dicintainya. Ia yang telah
membagi cinta kepada mereka yang hatinya remuk-redam, tak berdaya dan tanpa
gantungan. Ia yang bicara begitu bebas, tanpa beban, polos, karena tak punya
hasrat rendah apapun dan tak tergantung pada siapapun, kecuali kepada Tuhan. Ia
yang tak pernah peduli dengan gelar-gelar kehormatan yang dianugerahkan dunia
kepadanya. Ia yang pikirannya mampu menjangkau masa depan dan melampaui zaman,
tetapi yang tetap bisa bertahan dengan kokoh menjalani tradisinya. Ia yang tak
pernah gentar untuk melawan setiap tangan tiranik dan korup. Ia yang tak mau
kompromi terhadapnya dan tak peduli pada cibiran orang kepadanya.
Begitu usai, saya masuk ke bagian dalam rumah yang
kamar-kamarnya sudah lama saya hapal. Mencari ibu Shinta. Ibu sudah di dalam
kamarnya yang tampak remang, didampingi tiga putriya, tentu dalam rinai tangis
yang mengiris. Saya tak bisa menemui beliau untuk ta’ziyah, membesarkan hatinya
dengan kesabaran dan ketulusan. Begitu cara berta’ziyah yang saya terima dari
persantren. Saya hanya bertemu Lissa, putri pertamanya dan menyampaikan
ta’ziyah itu. Matanya masih tampak lebam dengan wajah sendu, tak bergairah,
meski tetap bisa senyum. Saya diminta mengantarnya untuk melihat ayahnya,
membuka tirai yang menutup wajahnya, lalu membaca tahlil dan berdoa.
Lissa tertunduk dan terisak-isak lirih. Kami melihat dengan
jelas wajah Gus Dur, sungguh, tampak ceria, tenang dan teduh. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada
Tuhanmu dengan tulus dan diridhai-Nya. Amin”. Ayat suci ini saya baca
berulang.
Masih dalam posisi berdiri sambil menunduk, saya segera
teringat kembali syair yang acapkali ditembangkan Gus Dur:
وَلَدَتْكَ
اُمُّكَ يَا ابْنَ آدَمَ بَاكِيًا
وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوراً
فَاجْهَدْ
لِنَفْسِكَ اَنْ تَكُونَ إِذَا بَكَوْا فِى يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكًا
مَسْرُورًا
Ketika ibu melahirkanmu, Wahai anak cucu
Adam
Engkau menangis, sedang orang-orang di
sekitarmu
Menyambutmu dengan riang
Maka, bekerjalah sungguh-sungguh untukmu
sendiri
ketika engkau tak lagi bersama mereka
selamanya,
mereka menangis tersedu-sedu
Sedang engkau pulang sendiri sambil
tersenyum manis
Seperti bunyi syair di atas, ribuan orang di seluruh negeri,
malam itu, berduka dan menangis tersedu-sedu. Sebagian histeris. Sementara Gus
Dur memang pulang sendirian dengan riang. Beliau akan segera memasuki gerbang
rumah abadi yang damai.
Usai shalat Shubuh dan ketika matahari beranjak naik, jenazah
dibawa dan diantar dengan kehormatan kenegaraan, menuju Bandara Halim Perdana
Kusuma dan terus ke rumah asal Gus Dur di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur. Di sana jenazah akan diistirahkan selama-lamanya di samping ayah;
K.H. Wahid Hasyim dan kakeknya; Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari.
Para santri biasa menyebut Gus Dur, ayah dan kakeknya yang
amat dihormati dengan “al-Karim ibn al-Karim
ibn al-Karim” (orang yang mulia putra orang yang mulia putra orang yang
mulia). Kaum bangsawan Jawa mungkin menyebutnya: “Gus Dur adalah seorang darah biru putra seorang darah biru putra
seorang darah biru”. Langit biru bening dilapis awan putih berarak,
bergerak pelan-pelan mengantar pesawat yang membawa jasad Gus Dur.
Di tempat peristirahatannya yang terakhir itu, sebelum
tubuhnya diturunkan ke bumi, Gus Dur mungkin masih membagi kegembiraan dan
pesan kepada para pengantarnya untuk tidak menangisi kepulangannya, seperti pesan
Maulana Jalaluddin Rumi ini:
Jangan menangis: “Aduhai kenapa pergi!”
Dalam pemakamanku
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, “Selamat tinggal”
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi!
(D911)
Bila datang ke makamku
Untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang
Karena pada perjamuan Tuhan,
Orang berduka tidak diberi tempat
Diedit
ulang olehh Sya’roni As-Samfuriy,
Indramayu 11 Rabi’ul Awwal 1434 H
Dari
Notes/Catatan dalam facebooknya Buya KH. Husein Muhammad:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar