Minggu, 13 Januari 2013

PEWARIS PERJUANGAN GURU MULIA



PEWARIS PERJUANGAN GURU MULIA
Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz BSA
Oleh: Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa



Peristiwa agung itu terjadi ketika Guru Mulia Al-Habib Umar bin Hafidz berkunjung ke Indonesia pada tahun 1993.

Kepulangan beliau merupakan ikatan janji untuk membawa santri-santri buat menuntut ilmu kepada beliau di Tarim, Hadhramaut. Maka pada bulan Syawwal itu kami:

1.      Ustadz Muhammad al-Baiti (Sumenep), menantunya Al-habib Musthofa Ba’abud Kediri
2.      Al-Habib Muhammad Haikal Khanamen (Jakarta),
3.      Al-Habib Soleh al-Jufri (Solo),
4.      Al-Habib Mahdi bin Muhammad al-Hiyed (Tegal),
5.      Ustadz Munthohhar Ridho (Pontianak),
6.      Ustadz Ahmad Idris (Palembang),
7.      Ustadz Hamzah (Bekasi),
8.      Ustadz Ridhwan al-Amri (Puncak, Bogor),
9.      Ustadz Nurhadi (Pasuruan),
10.  Ustadz Mufti (Pasuruan),
11.  Ustadz Azmi at-Tamimi (Pontianak),
12.  Ustadz Ubaidillah (Jakarta),
13.  Ustadz Yahya Rosyad (Purwodadi),
14.  Ustadz Salim Nur (Malang),
15.  Ustadz Ibrahim at-Tamimi (Pontianak),
16.  Ustadz Junaidi (Pontianak),
17.  Al-Habib Shadiq Hasan Baharun (Sumenep),
18.  Al-Habib Quraisy Baharun (Bangil),
19.  Al-Habib Abdul Bari bin Smith (Manado),
20.  Al-Habib Ja’far Bagir al-Attas (Jakarta),
21.  Al-Habib Hasan al-Muhdhor (Samarinda),
22.  Al-Habib Hasan bin Ismail al-Muhdhor (Purbalingga),
23.  Al-Habib Hadi al-Aydrus (pasuruan),
24.  Al-Habib Jindan bin Novel bin Jindan (Jakarta),
25.  Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Kaff (Jatibarang Brebes)
26.  Al-Habib Abdullah bin Hasan al-Haddad (Tegal),
27.  Al-Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid (Jember),
28.  Al-Habib Haidar al-Hinduan (Situbondo),
29.  Al-Habib Anis bin Husin al-Attas (Pekalongan),
30.  Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawwa (Jakarta),

tiba di Tarim, disambut di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Kami tinggal di kediaman Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz beberapa hari, lalu dipindahkan ke rumah kontrakan di belakang rumah beliau.

Rumah yang sangat sederhana, yang temboknya terbuat dari tanah dan lantainya dari plester. Bila kami bersandar, tanah pasir itu mencokelatkan baju kami.

Suasana yang sangat panas membuatbkami sangat  sulit untuk bisa duduk
dengan tenang. Ditambah pula dalam beberapa waktu kemudian, berkecamuk perang saudara di Yaman, antara Yaman Utara dengan Yaman Selatan.

Kami tidak terlibat dalam peperangan itu dan tidak terpengaruh apa-apa, karena tempat belajar kami bukan termasuk wilayah basis militer.

Kota Tarim tetap damai, tapi imbasnya adalah sulit mencari bahan pangan. Masya Allah.. beras sulit, kami hanya dapat roti keras yang sudah membatu, tak bisa dimakan kecuali dibenamkan ke air agar lembut.

Listrik hanya menyala 6 jam setiap harinya, air minum pun sulit. Dan kami harus mengantri di masjid-masjid yang memang punya sumur sendiri.

Kami mngunjungi majelis-majelis di kota Tarim stiap harinya dengan mobil Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Namun, karena saat perang bensin tak ada, kami harus berjalan kaki sejauh kira-kira 2 km.

Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz selalu menyejukkan hati kami. Beliaulah yang membuat ht kami tenang, walau kami tak punya uang lagi karena pengiriman uang dari luar negeri terputus. Bahkan telepon pun terputus dan kop surat ditutup.


Sisa-sisa Roti

Meski sulit, beliau memberikan persediaan pangan untuk kami sebelum diri Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz dan keluarga beliau.

Kami ingat, suatu malam, ketika kami selesai makan roti keras yang dicelup dengan kuah sone (kuah sayur), tinggallah potongan-potongan kecil yang akan dibuang. Tiba-tiba datanglah putra Guru Mulia, Salim namanya. Saat ptu usia Salim sekitar 5 tahun. Ia berkata: “Ayah, apakah masih ada sisa roti dan kuah sone? Kami sekeluarga belum asya (makan malam).”

Kami kaget, Masya Allah..!! tidak ada makanan. Itu hanya potongan-potongan kecil
bekas kami makan. Salim memaksa untuk membawanya ke rumah, maka kami carikan dan kami pilihkan sisa-sisa yang masih baik, lalu dikumpulkan dan dibawa ke dapur beliau.

Demikian perjuangan kami, yang sangat sulit, dan lebih-lebih lagi perjuangan Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, karena terbebani tanggungan puluhan santri Warga Negara Asing di rumah beliau.

Tahun demi tahun dakwah semakin berkembang. Kami sempat tinggal di kota Syihr dekat Mukalla, lalu kembali ke Tarim dan tinggal di masjid Attaqwa. Kami hanya mendengar bahwa ada bangunan untuk pesantren yang sedang dibangun oleh Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Kami tak tahu di mana persisnya hingga tahun 1998 Darul Musthafa diresmikan. Ancar-ancarnya sekitar 2 km dari pusat kota Tarim. Guru-gurunya diantaranya yaitu; Al-Habib Masyhur bin Hafidz (Mufti Tarim), juga Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz, dan ada guru-guru dari Mesir.

Kami tinggal di Darul Musthafa hanya beberapa bulan sebelum pulang ke Indonesia. Tempat itu sangat mewah, dilengkapi AC, bus-busnya ber-AC juga, klinik, swimming pool, karpet tebal yang dikirim dari Inggris, bangunan mewah, Masya Allah...

Kami ingat, dulu kami membasahi baju dengan air agar bisa tidur, karena kipas tidak berjalan disebabkan ketiadaan aliran listrik.

Kami ingat, dulu bila berangkat untuk ta’lim kami berjalan kaki di atas tanah yang berdebu di tengah teriknya matahari.

Kami ingat, dulu kami hanya bisa duduk di atas lantai bersemen dan tanah.

Kami ingat, dulu pakaian kami berwarna cokelat karena jarang dicuci dengan sabun, sebab harga sabun mahal, ditambah lagi air pun sulit didapat.

Tahun 1998 kami kembali ke Tanah Air, dan angkatan baru terus berdatangan ke Darul Musthafa. Para alumnus itu kembali ke Tanah Air kelompok demi kelompok.

Semoga para santri ini mewarisi semangat juang Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz.

Semoga cahaya sanubari beliau berpijar membimbing murid-muridnya, juga umumnya untuk seluruh muslimin, dalam kemuliaan dan keluhuran. Aamiin...


Sebagai pungkasan kami sertakan kalam Guru Mulia Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa:

“Sampaikan semua yang engkau dengar dan kau fahami dari keluhuran sunnah Nabi Muhammad Saw. Kepada temanmu, keluargamu, kerabatmu dan siapa pun yang bisa disampaikan baik dengan ucapan, lewat surat, email, sms, facebook, dan dengan apa saja yang bisa menjadi perantara untuk kau menyampaikan.”


Ditulis ulang oleh: Sya'roni As Samfuriy, Indramayu, 1 Rabi’ul Awwal 1434 H
 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=393403574083654&set=a.356613851095960.85503.347695735321105&type=1&comment_id=1026892&ref=notif&notif_t=photo_comment_tagged&theater

5 komentar:

  1. Semoga para guru kami di beri kesehatan,untuk berda'wah di berbagai tempat

    BalasHapus
  2. Yaa Allah,, berilah kemudahan, kesehatan dan semangat kepada Al-'Allamah Habib Umar bin Hafidz dalam dakwahnya membawa ajaranmu Ya Allah
    أمين

    BalasHapus
  3. Masya Allah perjuangan beliau, ingin rasanya berguru kepada beliau walaupun sekejap.

    BalasHapus
  4. Ya Alloh sungguh berat perjuangan mereka... berbeda dengan kami yg hanya diminta menghadiri majelis saja berat,,,,

    BalasHapus