Selasa, 13 Agustus 2013

KARAMAH AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI (CIKINI)

KARAMAH AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI (CIKINI)



Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi terlahir di Semarang dan wafat di Cikini, Jakarta pada tahun 1296 H/1879 M. Beliau adalah ayah dari Habib Ali Kwitang. Makam beliau terbilang unik, karena masjid atau makamnya berada di tengah-tengah proyek pengembangan apartemen di daerah Cikini Jl. Raden Saleh Jakarta.

Berikut adalah hasil wawancara Muh Subki Balya dengan Bapak Ansori, orang yang diserahi ahli bait untuk merawat masjid, pada bulan Ramadhan tahun 1434 H:

“Bahwa berdirinya masjid ini panjang dan katanya perebutan lahan ini dulu sampai berdarah, tetapi tiada stasiun TV manapun yang meliputnya. Ada seorang kaya yang berniat menggusurnya.

Sengketa tidak boleh digusur dan mau menggusur berlanjut. Sampai akhirnya yang berkuasa duit berhasil mau memindahkan makam Habib Abdurahman. Alat berat bego (alat mobil berat) dikerahkan sungguh di luar rasio akal sehat. Mobil bego itu patah.

Kemudian diambilkan mobil bego yang lebih baru dan lebih sehat. Benar-benar karamah Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi telah nampak. Mobil bego yang lebih layak dan sehat itu patah juga, bahkan patahannya hampir menyambar operator alat bego itu.

Ketika peristiwa tersebut mereda, terjadi keributan yang keduakalinya. Orang berduit itu tetap hendak mengeruk lahan tanah yang di situ terdapat makam Habib Abdurrahman. Ternyata keluarlah sumber air dari kerukan tersebut. Dari peristiwa itu dibangunlah sebuah masjid oleh keluarga di samping makam Habib Abdurrahman al-Habsyi.

Kisah unik irasional terjadi kembali. Saat pembangunan batas antara masjid dengan proyek, tepatnya di tikungan jalan tidak kunjung mengering. Air terus menggenang sehingga tidak dapat melakukan pengecoran pondasi, kurang lebih hingga 3 bulan lamanya. Saat itulah dari pihak kontraktor baru mau meminta izin sekedar berdoa di makam. Setelah itu air pun surut dan pembangunan pagar bisa dilaksanakan.”

Kejadian unik lain diceritakan pula oleh Bapak Ansori sebagai berikut:

“Ada seorang petani dengan mengendarai sepeda motor hendak melihat tanaman cabainya yang dikira sudah cukup umurnya untuk dipanen. Namun setelah meninjau berulangkali tanaman cabainya itu tidak kunjung dapat dipanen.

Datanglah ia ziarah ke makam Habib Abdurahman bin Abdullah al-Habsyi. Kemudian ia meminta kaleng yang bisa digunakan untuk mengambil air di makam Habib Abdurrahman.

Sepulangnya di rumah, air seberat kaleng cat itu dioplos (dicampurkan) dengan air yang digunakan untuk menyirami tanaman cabai. Alhamdulillah setelah itu tanaman cabainya bisa panen. Dari kejadian itu lantas ia ziarah kembali ke makam Habib Abdurahman al-Habsyi dengan membawa tumpeng sekedar berbagi rizki untuk selamatan atau tasyakuran.”


SEKILAS MANAQIB AL-HABIB ABDURRAHMAN BIN ABDULLAH AL-HABSYI

Habib Cikini, begitulah sebutan yang biasa diucapkan banyak orang untuk sosok al-Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi. Beliau terlahir dari keluarga al-Habsyi pada cabang keluarga al-Hadi bin Ahmad Shahib Syi’ib. Ia generasi pertama dari garis keturunan keluarga yang terlahir di Nusantara atau generasi kedua yang telah menetap di negeri ini.

Nasab lengkapnya adalah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad al-Ashghar bin Alwi bin Abubakar al-Habsyi.

Sebuah sumber tulisan menyebutkan bahwa kakeknya yang bernama Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi adalah yang pertama kali datang dari Hadhramaut dan menetap di Pontianak dan kemudian menikah dengan seorang putri dari keluarga Kesultanan Pontianak. Itu artinya, Habib Cikini adalah generasi kedua yang terlahir di Nusantara atau generasi ketiga yang menetap di sini.

Tulisan lainnya menyebutkan bahwa Habib Muhammad, kakeknya, ikut mendirikan Kesultanan Hasyimiyah Pontianak bersama keluarga al-Qadri.

Dalam catatan pada kitab rujukan “Nasab Alawiyyin” susunan Habib Ali bin Ja’far Assegaf ditulsikan, berdasarkan keterangan Habib Ali Kwitang yang mendapat informasi dari Habib Alwi (tinggal di Surabaya, sepupu dua kali Habib Ali Kwitang) bin Abdul Qadir bin Ali bin Muhammad bin Husein al-Habsyi, disebutkan, Habib Muhammad bin Husein wafat di Tarbeh, Hadhramaut. Kitab Habib Ali bin Ja'far juga menuliskan dengan jelas bahwa Habib Abdullah (Ayah Habib Cikini) adalah seorang kelahiran Hadhramut, tepatnya di Tarbeh. Berdasarkan berbagai keterangan di atas, jelaslah “Habib Cikini” adalah generasi pertama dari garis keturunan keluarganya yang dilahirkan di Nusantara.

Silsilah Habib Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi adalah: al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad al-Habsyi bin Ali bin Ahmad bin Muhammad Assadullah bin Hasan at-Turabi bin Ali bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-‘Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.

Habib Cikini sering juga disebut sebagai “Putra Semarang”. Selain pernah menetap di Pontianak, Habib Abdullah bin Muhammad al-Habsyi (ayah Habib Cikini) yang semasa hidupnya memiliki aktivitas berdagang antar pulau, juga pernah menetap di Semarang. Namun dari sebuah tulisan menyatakan bahwa ia menikah pertamakali di Semarang.

Sebuah naskah juga menyebutkan, ibu Habib Cikini adalah seorang syarifah dari keluarga Assegaf di Semarang. Dan memang, Habib Cikini sendiri diketahui sebagai putra kelahiran Semarang. Ini berkaitan dengan catatan lainnya yang menyebutkan: “Ia wafat di Laut Kayong (daerah Sukadana, Kalimantan) pada 1249 H, atau bertepatan dengan tahun 1833 M.”

Keterangan yang disebutkan terakhir tampaknya lebih mendekati kebenaran, sebab wilayah Sukadana berseberangan langsung dengan kota Semarang di Pulau Jawa, dan Kota Semarang merupakan kota kelahiran Habib Cikini. Hal ini juga selaras dengan keterangan bahwa Habib Abdullah wafat saat berlayar dari Pontianak ke Semarang. Pada Catatan itu juga disebutkan, ia wafat saat berperang dengan “lanun”, sebutan orang Pontianak terhadap para perompak laut.

Habib Cikini juga memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Habib Syech dan Raden Saleh. Diantara sejarah kehidupan Habib Cikini yang didapat dari sejumlah sumber adalah bahwa ia sahabat karib Habib Syech bin Ahmad Bafaqih (Botoputih-Surabaya). Hal tersebut diantaranya dicatat dalam catatan kaki Ustadz Dhiya’ Shahab dalam bukunya  “Syams adz-Dzahirah”.

Begitupula menurut penulis Belanda bernama L.W.C Van Den Berg dalam buku “Le Hadhramout Et Les Colonies Arabes” yang menyebutkan bahwa Habib Syech pernah menetap di Batavia selama kurang lebih 10 tahun.

Sya’roni As-Samfuriy, Subang 13 Agustus 2013

Disadur dari:


Koleksi foto-foto pembongkaran dan pemugaran Makam dan Masjid Habib Cikini bisa dilihat di sini:




Selasa, 06 Agustus 2013

KARAMAH AL-HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYAIKH ABI BAKAR BIN SALIM (HABIB PARUNG)

KARAMAH AL-HABIB SAGGAF BIN MAHDI BIN SYAIKH ABI BAKAR BIN SALIM (HABIB PARUNG)
Dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, kita meyakini adanya mukjizat bagi para nabi. Begitupula karamah bagi para kekasih Allah Swt., atau biasa kita sebut para wali. Tokoh yang akan kita bicarakan kali ini sudah tidak asing lagi di telinga para muhibbin Indonesia, khususnya para santri Pondok Pesantren al-Ashriyyah Nurul Iman Parung Bogor. Diantara keistiqamahan Habib Saggaf adalah di setiap malam setelah beliau pulang dari keliling kota selalu mengontrol murid-muridnya yang sedang beristirahat tidur malam. Suatu saat Habib Saggaf sedang berjalan menuju ke kediaman beliau sepulang dari asrama putra (al-Ashriyyah Nurul Iman) tepatnya pada hari Selasa malam Rabu pukul 22.15 WIB tahun 2003, datanglah seseorang yang mengenakan jubah layaknya seorang ulama dan mengaku bahwa dirinya adalah Jibril. Melihat kejadian itu Habib Saggaf berteriak dengan suara yang sangat keras seraya berkata: “Anta Iblis!” Kemudian sosok berjubah itu pun hilang seketka. Kisah selanjutnya diceritakan oleh Syaikh Ahmad Shiddiq, utusan Raja Abu Dhabi, Emirat Arab. Tepatnya pada tahun 2005 ketika Raja Abu Dhabi sakit keras dan berobat ke berbagai tabib namun belum juga sembuh, akhirnya diutuslah seorang utusan ke Indonesia untuk menemui Habib Saggaf bin Mahdi yang sudah lama dikenal oleh raja dan pemerintahan Abu Dhabi. Dengan permintaan itu, Habib Saggaf pun mengabulkan permintaannya. Setelah selesai menepati harapan raja, beliau sebelum pulang ke Indonesia menyempatkan diri untuk umrah dan ziarah kepada sang kakek, Nabi Muhammad Saw. Saat Habib Saggaf di Ka’bah beliau hendak mencium Hajar Aswad, namun terhalang-halangi oleh kerumunan jamaah yang lain sehingga beliaupun tidak bisa mendekat pada Hajar Aswad itu. Tiba-tiba datanglah seseorang yang tinggi besar dan meletakan beliau di atas telapak tangannya lalu dihadapkan ke Hajar Aswad. Syaikh Ahmad Shiddiq (utusan Raja Abu Dhabi) yang menyaksiikan kejadian tersebut. Sang utusan itu melihat sang habib terbang di atas jamaah haji. Selesai melaksanakan umrah, Habib Saggaf ziarah ke makam Rasulullah Saw. Ketika beliau mendekati dinding kubur Rasulullah Saw. beliau mengulurkan sorbannya untuk mengharap keberkahan Nabi Saw. Melihat hal ini, sang opsir penjaga (muthawi’) menyeret beliau sambil berteriak: “Bid’ah!” Lalu Habib Saggaf dipukuli oleh opsir tersebut. Tiba-tiba keluarlah Rasulullah Saw. dari arah dinding kubur yang disaksikan oleh semua jamaah yang hadir waktu itu. Rasulullah Saw. menampakkan nurnya yang menyelimuti Habib Saggaf. Kemudian Rasulullah Saw. mengulurkan tangannya seraya bersabda: “Saggaf, masuklah bersamaku.” Dengan tawadhu’ Habib Saggaf menjawab: “Cukup di sini saja wahai Rasulullah, supaya sama dengan yang lainnya. Saya mengharap syafaatmu wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah Saw. menjawab: “Aku beri syafaat padamu wahai cucuku.” Inilah secuil kisah karamah Habib Saggaf bin Mahdi BSA yang sudah masyhur diceritakan dari santri ke santri, dan kemudian menyebar ke khalayak umum setelah kewafatan beliau. Mari kita hadiahkan bacaan surat al-Fatihah teruntuk beliau yang telah mendahului kita. ‘Ala kulli niyyatin shalihah wa ila hadhratin Nabiy Saw. al-Fatihah... Wallahu A’lam Bishshawab.

Jumat, 02 Agustus 2013

JANGAN SAMPAI KITA MENYESAL AKIBAT JAUH DARI PARA ULAMA

JANGAN SAMPAI KITA MENYESAL AKIBAT JAUH DARI PARA ULAMA



Di Jakarta dikenal banyak para alim ulamanya. Mereka adalah panutan para warga Jakarta khususnya di kalangan para masyayikh dan warga sekitarnya. Pada zaman Belanda ada Habib Utsman bin Yahya yang lebih dikenal dengan Sayyid Utsman Mufti Betawi.

Setelah Habib Utsman bin Yahya wafat, yang paling berpengaruh ialah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang lebih mahsyur dengan sebutan Habib Ali Kwitang. Bisa dikatakan beliau menjadi pusat rujukan seluruh para ulama.

Dan setelah Habib Ali wafat, banyak para ulama di waktu itu memusatkan rujukannya kepada Habib Ali bin Husein al-Atthas, yang mana pada waktu itu juga ada Habib Zein ash-Sholabiyah al-Aydrus dari Kerukut.

Dan setelah keduanya tiada, boleh dikatakan semua ulama tertuju kepada Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad al-Hawi. Dan zaman terus berganti sampai pada masa wafatnya Habib Muhammad al-Haddad seluruh ulama dan jamaah langsung tertuju kepada Habib Abdullah bin Salim al-Atthas Kebon Nanas sampai pada tahun 1980. Dimana Habib Abdullah wafat di tahun itupun ulama dan jamaah tidak susah menentukan harus ke mana, tujuan mereka adalah Habib Abdullah bin Husein bin Muchsin asy-Syami al-Atthas Batu Ceper Jakarta.

Era tahun 80-an ulama makin berkurang satu demi satu sampai yang tertinggal hanya jamaah yang mencari ulama yang tersimpan. Pada waktu itu masyhur di kalangan jamaah sebuah ungkapan: “Ente kalo mau masuk Madraseh masuk aje ke Bukit Duri. Di sane ade Ustadz Habib Abdurrahman Assegaf yang siap mendidik. Kalo ente mau nanye masalah ilmu fiqih tinggal dateng ke daerah Batu Ceper tempatnye Habib Abdullah asy-Syami al-Atthas yang siap ngejawabnye. Terus kalo ente mau minta doa biar hasil maksudnye qobul tinggal ke Cipayung nemuin Habib Umar bin Hasan bin Hud al-Atthas.”

“Dan ketiga mereka kini telah tiada. Sekarang kita mau ke mana? Ke tempat siapa? Dan lalu bagaimana?” Begitulah umat bertanya-tanya.

“Mau ke mana kita?” Ayyuhal ahibba-ilkiram. Saat ini kita bagai anak yatim yang ditinggalkan orang tua. Saat ini kita merasa hilang arah karena tanpa cahaya, tanpa petunjuk nyata. Kita ini bagai orang buta, tuli dan bisu yang mudah ke sana dan ke mari.

Kita bagai berada di tengah samudera yang sedang mengombang-ambingkan perahu kita. Perahu yang tanpa layar berkembang yang siap digulung ombak besar lalu karam di dasar laut yang gelap hitam kelam. Apabila di sekitar kita masih ada ulama, jaga mereka, ikuti mereka, jangan sampai kita menyesal sejadi-jadinya karena jauh dari mereka.

Keterangan foto: Habib Muhammad bin Ali al-Habsyi (yang memeganginya adalah Habib Muhammad bin Husein al-Atthas), Habib Novel bin Jindan, Habib Abdullah asy-Syami al-Atthas, Hbib Syaikh bin Abubakar Assegaf, Habib Muhammadil Bagir al-Atthas. Foto diambil pada tahun 1992.

Klik link asal di sini:


Kamis, 24 Januari 2013

MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW.



MENGENAL PUTRA-PUTRI RASULULLAH SAW.

Banyak riwayat yang berbeda tentang berapa jumlah putra-putri Rasulullah Saw. Ada yang mengatakan 6 atau 7 atau 11 dan 12. Di sini tidak akan menulis panjang lebar riwayat-riwayat tersebut, karena yang paling shahih adalah 7; 3 putra  dan 4 putri. Semua putra-putri Rasulullah Saw. terlahir dari Sayyidah Khadijah al-Kubra Ra. kecuali satu satu yaitu Sayyid Ibrohim.

Selengkapnya nama putra-putri Rasulullah Saw. Adalah:
·         Putra          : Ibrahim, Qasim dan Abdullah.
·         Putri          : Zainab, Ruqayyah, Ummi Kultsum dan Fathimah.

Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang dilahirkan sebelum kenabian. Ibrahim tidak berusia panjang, dia hidup hanya sampai seusia bisa berjalan. Pendapat lain menyatakan beliau hanya sampai usia 2 tahun.

Menurut riwayat Mujahid, Ibrahim hanya hidup cuma tujuh hari saja, namun riwayat ini dianggap keliru oleh Imam Ghallaby (Imam Fadhl bin Ghassan al-Ghollaby al-Baghdady. Seorang Muhaddits, Muarrikh yang wafat pada tahun 245 H. Rujuk ke kitab Mu'jam al-Muallifiin juz 8 halaman 71 dan kitab Hadiyyat al-'Arifiin juz 1 halaman 181), beliau mengatakan bahwa yang benar adalah Ibrahim hidup selama 17 bulan.

Ibnu Faris berkata bahwa Ibrahim hidup sampai ia bisa naik kendaraan (onta atau kuda) dan meninggal sebelum bi'tsah.

Dalam kitab al-Mustadrak karya al-Faryabiy (Imam al-Faryaby adalah Ja'far bin Muhammad bin Hasan bin Mustafadh Abubakar al-Faryaby. Masa hidup beliau antara 207-301 H. Beliau seorang Qadhi dan Muhaddits. Rujuk ke kitab al- A'laam juz 2 halaman 127 atau kitab Syadzaraat adz-Dzahab juz 2 halaman 235 atau kitab Tarikh Baghdad juz 7 halaman 199 atau Tadzkirat al-Huffadz juz 2 halaman 692 dan Mu'jam al-Buldan juz 6 halaman 372). Beliau mengatakan tidak ada dalil atau bukti akurat bahwa Ibrahim meninggal dalam masa Islam. Ibrahim adalah putra pertama Rasulullah Saw. yang meninggal dunia.

Sedangkan Zainab adalah putri Rasulullah Saw. yang paling besar diantara anak perempuan Rasulullah Saw. yang lain, dan ini tanpa ada ikhtilaf. Yang terjadi ikhtilaf  (kontrofesi) hanya pada apakah Zainab dilahirkan sebelum Qasim ataukah Qasim dulu baru Zainab. Menurut Ibnu Ishaq, Zainab lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. menemui masa Islam dan ikut berhijrah. Zainab wafat tahun  8 H di pangkuan suaminya (anak laki-laki dari bibi Zainab sendiri) yaitu Abul 'Ash Laqith, ada yang mengatakan namanya adalah Muhsyam bin Rabi' bin Abdul 'Uzza bin Abdu asy-Syams.

Zainab mempunyai putra bernama Ali tapi meninggal saat masih kecil dan belum baligh. Rasulullah Saw. pernah memangku Ali naik kendaraan pada saat Fathu Makkah. Kemudian lahir pula dari Zainab ini Umamah, dimana Rasulullah Saw. pernah membawanya sholat Shubuh dan berada di pundak Rasulullah Saw. Saat Rasulullah Saw. ruku', Umamah pun diletakkannya dan ketika bangun dari sujud untuk melanjutkan rakaat berikutnya Umamah pun diangkatnya kembali di pundak beliau Saw. (Lihat dalam Shahih Muslim Bab al-Masajid, hadits no. 42, Shahih Bukhori Kitab al-Adab Bab 18 hadits no. 5696, Abu Dawud Kitab Sholat Bab 165 hadits no. 918 dll). Zainab ini pada akhirnya dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib setelah wafatnya Fathimah az-Zahra.

Putri Rasulullah Saw. yang bernama Ruqayyah lahir pada tahun 33 dari kelahiran Rasulullah Saw. Menurut Zuber bin Bakr dan lainnya bahwa Ruqayyah adalah perempuan yang paling besar diantara putri-putri Rasulullah Saw. Pendapat ini dishahihkan oleh al-Jurjany. Namun yang paling shahih adalah sebagaimana mayoritas ulama mengatakan Zainab adalah anak perempuan Rasulullah Saw. yang paling besar dintara putri Rasulullah Saw. lainnya.

Ruqayyah menikah denga 'Utbah bin Abu Lahab dan adiknya Ummu Kultsum menikah dengan saudara 'Utbah sendiri yaitu 'Utaibah. Ketika turun ayat:

تبت يدا أبى لهب وتب

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa". (QS. al-Lahab ayat 1).

Abu Lahab berkata kepada kedua anaknya: “Kalian akan aku bunuh jika tidak berpisah dengan kedua anak Muhammad.”  Lalu keduanyapun menceraikan masing-masing istrinya dan belum sempat mendukhul/menjima'nya.

Utsman bin 'Affan lalu menikahi Ruqayyah di Makkah. Beliau bersama istrinya Ruqayyah ikut hijrah dua kali bersama Rasulullah Saw. ke bumi Habsyah (Afrika). Ruqayyah adalah salah seorang putri Rasulullah Saw.yang parasnya cantik. Ruqayyah wafat pada saat ayahanda tercintanya yaitu Rasulullah Saw. sedang berjihad dalam perang Badr. Dalam riwayat Ibnu Abbas, ketika Rasulullah Saw. ta'ziyah setelah selesai berjihad dan datang ke rumah putrinya, beliau Saw. bersabda:

الحمد لله دفن البنات من المكرمات

“Segala puji bagi Allah yang telah mengambil diantara wanita-wanita yang teramat mulia, yakni Ruqayyah". (HR ad-Daulaby dalaam Tarikh Baghdad karya al-Khathib al-Baghdady juz 5 halaman 67 dan 7.291 atau kitab Tahdzib Tarikh Dimasyqy karya Ibnu Asakir juz 1 halaman 298 dan juz 7 halaman 279, Hilyat al-Auliya juz 5 halaman 209, dan Tafsir al-Qurthuby juz 17 halaman 82 dll).

Putri Kanjeng Rasulullah Saw. yang bernama Ummu Kultsum menikah dengan 'Utsman Bin 'Affan pada tahun 3 H. Ummu Kultsum wafat pada tahun 9 H. Rasulullah Saw. sendiri yang menjadi imam sholatnya. Sedangkan yang menggali kuburan adalah Ali bin Abi Thalib, Fadhl dan Usamah bin Zaid.

Dalam Shahih Bukhori dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. ketika berada di samping kuburan Ummu Kultsum, nampak kedua mata beliau menitikkan air mata. Lalu beliau berkata: "Siapakah diantara kalian yang bersedia meletakkan jasad putriku ke dalam liang lahat?"

Lalu Abu Thalhah berkata: "Saya Ya Rasulallah."

Kemudian Rasulullah Saw. pun memerintahkan Abu Thalhah untuk turun ke kuburan.

Sedangkan Fathimah az-Zahra al-Batul menurut Abu Umar dilahirkan tahun 41 setelah kelahiran Rasulullah Saw. Ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq bahwa beliau berkata: “Semua putra-putri Rasulullah Saw. dilahirkan sebelum nubuwwah kecuali Ibrahim.” Menurut Ibnu al-Jauzy bahwa Fathimah az-Zahra al-Batul dilahirkan 5 tahun sebelum nubuwwah.

Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa putri Rasulullah Saw. yang bernama Fathimah ini, disebut Fathimah (menjaga/menutupi/melepas) karena Allah Swt. telah menjaga Fathimah beserta keluarganya dari neraka kelak pada hari kiamat. (HR. Al-Hafidz d-Dimasyqiy). Sedangkan menurut riwayat al-Ghassany dan al-Khathib karena Allah Swt. menjaga Fathimah dan orang-orang yang mencintainya dari nerka. (Lihat Imam as-Suyuthi dalam Jam' al-Jawami' no. 7780 atau Kanz al-Umal no.. 34227 dan Tanziih asy-Syari'ah karya Ibnu al-'Iraqiy juz 1 halaman 413).

Sedangkan Fathimah disebut al-Batul (terputus/terpisah) karena Fathimah berbeda dengan wanita-wanita lain di masanya baik dalam soal agama, keutamaan dan keturununanya. Menurut pendapat lain karena Fathimah adalah wanita yang melepaskan hatinya dari dunia dan selalu asyik dengan Allah. Demikian menurut Ibnu al-Atsir.

Fathimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun ke-2 Hijriyyah. Pendapat lain mengatakan setelah terjadi perang Uhud. Pendapat lainnya mengatakan Fathimah menikah dengan Sayidina Ali 4,5 bulan setelah Rasulullah Saw. menikahi 'Aisyah. Pendapat lain mengatakan terjadi di bulan Shafar tahun 2 H. Dan masih ada beberapa riwayat lain yang berbeda.

Saat menikah dengan Ali bin Abi Thalib, usia Fathimah az-Zahra adalah 15 tahun 5 bulan setengah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib usianya 21 tahun 5 bulan. Ada riwayat lain juga yang berbeda.

Menurut Abu Umar Fathimah dan Ummu Kultsum adalah paling utama-utamanya putri Rasulullah Saw. Fathimah adalah putri Rasulullah Saw. yang sangat dicintai oleh Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw. hendak bepergian, beliau lebih dulu mencium putrinya Fathimah. Begitupun setelah pulang dari bepergian,Fathimah lah yang lebih dulu ditemui oleh Rasulullah Saw.

Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. bersabda: "Fathimah adalah bagian dariku. Barangsiapa memurkainya berarti telah memurkaiku." (HR. Bukhari no. 3417, al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 3 halaman 158, as-Sunan al-Kubra Imam Baihaqiy juz 7 halaman 64 dll).

Dalam hadits lainnya Rasulullah Saw. berkata kepada putri tercintanya ini: “Fathimah apakah engkau ridho bahwa engkau adalah pemimpin dari seluruh wanita mukmin.” (HR. Muslim no. 98, Musykil al-Atsar karya ath-Thahawy juz 1 halaman 51, Ithaf as-Sadat al-Muttaqin karya az-Zabidy juz 6 halaman 244 dll).

Sedang dalam riwayat Ahmad Rasulullah Saw. bersabda: “Fathimah adalah paling utamanya wanita surga.” (HR. Ahmad juz 3 halaman 80 dan juz 5 halaman 391 dll).

Fathimah az-Zahra al-Batul wafat 6 bulan setelah wafatnya Rasulullah Saw. pada malam Selasa bulan Ramadhan tahun 11 H. Wafat dalam usia 29 tahun.

Pernikahan Fathimah az-Zahra dengan Ali bin Abi Thalib melahirkan Hasan, Husein dan Muhassin (ada yang mengatakan Muhsin). Muhassin meninggal saat masih kecil, kemudian Ummu Kultsum dan Zainab.

Rasulullah Saw. tidak punya keturunan selain dari putrinya Fathimah ini yang kemudian nasab Rasulullah Saw. yang mulia ini tersebar melalui Sayyidinaa Hasan dan Husein. Sehingga jika dinisbatkan kepada keduanya, maka muncul al-Hasany dan al-Husainy. Diantara generasi pertama dari Dzurriyyah Sayyidina Husein adalah keluarga Ishaq bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib al-Ishaqy. Yang kemudian disebut al-Husainy al-Ishaqy.

Ishaq ini adalah suami sayyidah Nafisah binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Terlahir dari sini dua orang yaitu Qasim dan Ummu Kultsum, namun tidak punya keturunan.

Kemudian Umar bin Khaththab menikahi Ummu Kultsum binti Fathimah mempunyai dua anak yang bernama Zaid dan Ruqayyah namun tidak punya keturunan. Kemudian Ummu Kultsum menikah lagi setelah wafatnya Umar bin Khaththab dengan 'Aun bin Ja'far.

Setelah 'Aun meninggal Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudaranya 'Aun sendiri yaitu Muhammad bin Ja'far. Lalu Muhammad bin Ja'far pun wafat. Setelah wafatnya Muhammad bin Ja'far,Ummu Kultsum menikah lagi dengan saudara dari 'Aun dan Muhammad ini yaitu Abdullah bin Ja'far lalu dengan yang terakhir ini Ummu Kultsum wafat.

Dari ketiga saudara yang menikahi Ummu Kultsum ini tidak ada yang memberi keturunan, hanya satu dari Muhammad bin Ja'far yaitu anak perempuan kecil yang akhirnya tidak juga punya keturunan.

Setelah wafatnya Ummu Kultsum, maka Abdullah bin Ja'far pun menikahi saudara perempuan Ummu Kultsum yang bernama Zainab binti Fathimah dan mempunyai beberapa orang anak diantaranya adalah Ali dan Ummu Kultsum. Ummu Kultsum yang ini menikah dengan anak pamannya sendiri yang bernama Qasim bin Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib, dan punya beberapa anak diantaranya Fathimah yang kemudian dinikahi oleh Hamzah bin Abdullah bin Zuber bin Awwam yang juga punya keturunan.

Jadi di sini ada kesimpulan penting bahwa keturunan dari Abdullah bin Ja'far tersebar melalui Ali dan adiknya Ummu Kultsum yang dua-duanya ini terlahir dari rahim Zaenab binti Fathimah az-Zahra.

Dzurriyyah yang datang setelahnya dari keturunan ini biasa disebut dengan Ja'fary. Berarti jelas tak ada keraguan sedikitpun mengenai kemuliaan nasab ini. Bagaimanapun kemuliaan keluarga yang dinisbatkan kepada Ja'far ini tetap di bawah kemuliaan Dzurriyyah yang dinisbatkan kepada Sayyidina Hasan dan Husein. Laqab atau gelar Syarif (orang-orang mulia berdasar keturunan) ini juga diberikan pada golongan Abbas atau Abbasiyyun karena mereka berasal dari keluarga Bani Hasyim.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata bahwa golongan gelar Syarif diberikan kepada Abbasiyyin di Baghdad dan gelar  Alawy di mesir. Syarif dan Alawy maknanya sama yaitu mulia.

Wallahu al-Musta’aan

Sya’roni, Indramayu 13 Rabi’ul Awwal 1434 H