Habib Husein
bin Hud Bin Yahya
Aroma Kota Nabi di Kota Wali
Jika kita
menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan, yang dinamai itu juga
mendapat keberkahan.
Sejak awal abad keenam belas, kota Cirebon memang
dikenal sebagai salah satu basis penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat.
Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Walisanga, bermukim di kota ini. Tidak
mengherankan jika daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah
ini kaya akan khazanah keislaman. Mulai dari situs-situs peninggalan Kesultanan
Cirebon, karya-karya sastra, sampai pesantren-pesantren tradisional.
Sunan Gunung Jati hanyalah satu diantara begitu banyak
tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung
Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah.
Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering
disebut “Kota Wali”.
Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka,
misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang indah dan pesantren-pesantren besar.
Salah satunya adalah Pesantren Babakan, Ciwaringin.
Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa
yang terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya
kemudian identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30
pondok pesantren denga ribuan santri.
Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah
figur kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan.
Ayahnya, Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib
kota Cirebon saat ini.
Janji Allah
Habib Husen adalah putra keempat dari tujuh bersaudara
pasangan Habib Hud dan Hj. Himayah Masduki. Ibunda Habib Husen adalah putri
K.H. Masduki Ali, salah seorang tokoh ulama Pesantren Ciwaringin Cirebon di
masa lalu.
Masa kecil Habib Husein dihabiskan di sekitar
pesantren yang diasuh ayahnya, sepeninggal kakeknya, Kiai Masduki. Setelah
menyelesaikan pendidikan di madrasah tsanawiyah dan aliyah di lingkungan
Pesantren Babakan Ciwaringin, ia sempat pula mengenyam pendidikan di sejumlah
pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Setelah lama menimba ilmu dari pesantren ke pesantren,
tahun 2001 Habib Husen pergi ke negeri leluhurnya, Hadhramaut, untuk semakin
menambah wawasan keilmuannya. Di sana, ia masuk Rubath Tarim, yang saat itu
masih diasuh oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, dan adiknya, Habib
Salim Asy-Syathiri.
“Pertama
kali datang ke Hadhramaut, saya mendekati Habib Hasan sambil membawa segelas
air untuk minta didoai. Dengan doa beliau, saya berharap bisa betah tinggal di
Hadhramaut dan mendapat keberkahan selama mengikuti pelajaran di kota itu.
Setelah pamit berpisah dari Habib Hasan, air itu saya minum. Sisanya akan saya simpan. Tapi tiba-tiba kawan-kawan saya ‘menyerbu’, akhirnya air itu habis diminum kawan-kawan saya,” kisah Habib Husen mengenang masa-masa awal ia tiba di Hadhramaut.
Setelah pamit berpisah dari Habib Hasan, air itu saya minum. Sisanya akan saya simpan. Tapi tiba-tiba kawan-kawan saya ‘menyerbu’, akhirnya air itu habis diminum kawan-kawan saya,” kisah Habib Husen mengenang masa-masa awal ia tiba di Hadhramaut.
Banyak kenangan yang diperolehnya saat menimba ilmu di
bawah asuhan para ulama Hadhramaut. Kesempatan selama berada di sana
benar-benar tak disia-siakannya. Selain duduk bersama para ulama untuk menimba
ilmu dari mereka, ia juga kerap mendatangi mereka untuk meminta ijazah, baik
sanad maupun awrad.
Sewaktu di Hadhramaut, selain ijazah dari gurunya sendiri
di Rubath Tarim, yaitu Habib Hasan dan Habib Salim, ia juga mendapatkan ijazah
dari Habib Abdullah Bin Syihab dan Habib Umar Bin Hafidz.
Dua tahun setelah tinggal di Hadhramaut, Habib Husen
berniat untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia berangkat dari
Hadhramaut. Ada kejadian aneh yang ia rasakan pada waktu itu. Di depan Ka’bah,
saat ia tengah berthawaf, seseorang mendekatinya dan tiba-tiba memeluk erat
dirinya. Ia pasrah saja.
Sesaat setelah dipeluk, ia heran, orang itu tak lagi
terlihat, tenggelam di lautan massa yang ada di sekitar Ka’bah. Setelah itu, ia
mendapati di kantungnya ada uang 100 riyal. “Mungkin
orang yang tadi itu yang memberikan, tapi kenapa ya dia memberikan uang itu?”
tanyanya dalam hati ketika ia mengisahkan kejadian itu.
Sesaat kemudian, ia teringat, beberapa waktu
sebelumnya, ia baru saja memberi uang 10 riyal untuk seorang musafir yang
berasal dari Indonesia. Ia pun teringat bunyi sebuah hadits Nabi yang bermakna
bahwa siapa berbuat kebajikan, Allah SWT akan membalasnya sepuluh kali lipat. “Allah
SWT memang tak pernah mengingkari janjiNya,” gumamnya kemudian.
Jubah Habib
Salim
Di Hadhramaut, walaupun tak jarang yang dibaca adalah
kitab-kitab permulaan seperti kitab Safinah
an-Najah, karena mereka (para ulama Tarim) hadir dan duduk di sebuah
majelis ilmu bukan hanya untuk ilmu semata-mata, tapi juga untuk ibadah dan
menjalankan perintah Allah, terasa sekali keberkahannya.
“Inilah
keistimewaan ulama-ulama Hadhramaut, berilmu, beramal, dan tawadhu’. Berbeda
dengan sebagian orang yang jika sudah dianggap ustadz tidak mau lagi mendengar
kata-kata orang lain,” kata Habib Husein.
Setelah beberapa tahun lamanya tinggal di Hadhramaut,
Habib Husein berencana untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karenanya, ia pun
hendak mendatangi Habib Salim. Untuk berpamitan.
Habib Salim mengizinkannya pulang dan bahkan
memberikannya banyak ijazah, sanad, dan wirid. Selain itu, Habib Salim juga
memberinya sebuah jubah. Habib Salim menyuruhnya untuk mencoba mengenakannya
terlebih dulu.
Setelah dicoba, ia merasa sangat terkesan. Sebab,
sebelum diserahkan kepadanya, jubah itu dilipat Habib Salim sendiri. Rupanya
Habib Salim ingin sambil mengajarinya melipat jubah. “Begini cara melipat jubah,” ujar Habib Salim kala itu.
Ia benar-benar merasa terkesan dengan apa yang
dilakukan gurunya itu. Baginya, itu adalah pelajaran yang sangat bermakna.
Pelajaran tentang bagaimana seseorang harus mempunyai semangat untuk idkhalussurur (menyenangkan hati orang
lain) dan juga pelajaran untuk bersikap tawadhu’.
Siapa yang tidak senang? Sudah dikasih hadiah, diberi
penghormatan pula seperti itu oleh orang sebesar Habib Salim? Begitu pula
tentang ketawadhu’an Habib Salim yang ia saksikan langsung. Padahal, saat itu
ada khadamnya dan orang-orang lain yang sewaktu-waktu selalu siap menerima
perintah Habib Salim.
Madinah
Ar-Rasul
Setelah pulang dari Hadhramaut, semangatnya dalam
mencari ilmu masih terus terjaga. Ia sempat kuliah dan tahun ini ia baru saja
menggondol gelar sarjana. Ayah dua putra, M. Mahdi dan M. Nagib, ini kini mulai
aktif mengajar dan berdakwah.
Saat ini ia mengajar di Pesantren Miftahul
Muta’allimin (putra) dan Raudlatul Banat (putri), Babakan Ciwaringin, Cirebon.
Ia juga aktif mengasuh majelis ta’lim di beberapa tempat lainnya. Dan aktivitas
utamanya adalah menjadi pengasuh dalam Majelis Ta’lim wal Maulid Madinah
Ar-Rasul, yang ia dirikan pada tahun 2007.
Madinah Ar-Rasul bermakna Kota Sang Rasul. Nama ini
pertama kali ia dapat ketika masih belajar di Ribath Tarim. Saat ia membaca
sebuah kitab sirah Nabawiyah, matanya tertuju pada sebuah kalimat yang di
dalamnya ada kata-kata “madinatur rasul”.
“Nama ini
bagus juga kalau suatu saat saya mendirikan dan membina sebuah majelis,” pikirnya saat itu kala ia berkisah.
Dan kini, harapannya itu menjadi kenyataan.
Nama itu dipilih Habib Husein dengan harapan bahwa
majelisnya ini akan semakin membumikan ajaran syari’at Rasulullah SAW di bumi
Cirebon.
Sebagai sebuah organisasi, Madinah Ar-Rasul tentu
mempunyai visi. Dan misinya itu adalah mencerdaskan umat, menjaga amalan para
salaf, dan menguatkan ukhuwah Islamiyah.
“Karena,
dengan adanya perkumpulan seperti ini, kita dapat saling mengenal, saling
mengunjungi, dan bekerja sama,” kata Habib Husen lebih lanjut.
Beberapa waktu silam, ketika Habib Salim datang, ia
menyampaikan ke Habib Salim bahwa ia mendirikan majelis dan menamakannya dengan
nama itu.
Habib Salim pun mengatakan, “Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan, yang
dinamai itu juga mendapat keberkahan.”
Pada awalnya, Madinah Ar-Rasul hanya diikuti oleh
masyarakat sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, majelisnya itu kini telah
berkembang ke beberapa daerah, bahkan hingga ke luar Kabupaten Cirebon. Ya,
Madinah Ar-Rasul sudah mempunyai beberapa cabang.
Selain ia sendiri, ia juga mengajak
saudara-saudaranya, seperti kakaknya, Habib Abubakar, yang pernah di Mesir dan
Darul Musthafa Tarim, dan adiknya, Habib Muhammad, yang lulusan Universitas
Al-Ahqaf, Hadhramaut. Rekan-rekannya, baik yang dari Ribath Tarim maupun Darul
Musthafa Tarim, juga kerap mengisi acara di majelisnya tersebut. Dan tak lupa,
para kiai Cirebon dan sekitarnya juga ia ajak turut serta.
Jaminan
Penuntut Ilmu
Selama alKisah berbincang dengan Habib Husein, ia
banyak bertutur tentang keistimewaan menuntut ilmu. Diantara yang
disampaikannya,
“Allah SWT
saja berkata kepada Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad): Ya Allah,
tambahkanlah untukku ilmu. Lihat saja,
Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya meminta tambahnya ilmu. Ini
merupakan bukti bahwa ilmu adalah perkara yang paling mulia.Bukan itu saja,
bahkan, dengan mencari ilmu, kita akan mendapat jaminan khusus dari Allah
tentang rizqi, sebagaimana dalam atsar disebutkan,
Sesungguhnya
Allah menjamin rizqi para pencari ilmu. Mengenai
hal ini, shahiburratib, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, mengatakan, ‘Ini
adalah tanggungan yang khusus bagi pencari ilmu, sehingga pencari ilmu akan
mendapat kemudahan dan dipercepat untuk memperoleh rizqi dan kekayaan.’
Mencari ilmu
juga dapat mencegah matinya hati. Karena, sebagaimana badan memerlukan makanan,
demikian juga hati dan ruh kita. Contohnya, orang yang dicegah dari makan,
minum, dan berobat, tentunya ia akan mati. Begitu juga hati kita, bila dicegah
dari hikmah dan ilmu, cobalah tiga hari saja, ia pun akan mati. Karena makanan
hati adalah hikmah dan ilmu.
Dengan
alasan itu saya mengatakan kepada jamaah, ‘Kalau kita ingin sukses
dunia-akhirat, rutinlah mengikuti majelis-majelis ilmu. Di samping jangan lupa
dengan kewajiban-kewajiban yang harus dinomorsatukan, seperti shalat, puasa,
dan seterusnya.’
Jadi, sangat
keliru, jika ingin sukses dunia-akhirat, kita tidak menjaga kewajiban-kewajiban
yang Allah tentukan untuk kita dalam urusan agama.
Perlu pula
diingat, sukses itu bukan hanya dari segi yang zhahir di dunia. Lebih dari itu,
kita harus sukses di akhirat. Jadi, belum pasti orang yang punya kedudukan dan
kekayaan di dunia, bahkan orang alim sekalipun, menjadi orang sukses di
akhirat. Karena orang alim pun bisa celaka, seperti dikatakan dalam kitab
Az-Zubad, ‘Orang yang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa sebelum
para penyembah berhala’.
Jadi, dengan
hadir dalam kegiatan-kegiatan ta’lim dan dzikir, seperti salah satunya yang
diadakan oleh Madinah Ar-Rasul, insya Allah kita akan sukses dunia-akhirat.”
Jam'iyyah
Ta'lim & Maulid MADINAH AR-RASUL
Pelindung dan
Penasehat:
1. Al-Habib Salim
As-Syathiri (Yaman)
2. Al-Habib Syarif
Toha Yahya (Arjawinangun Cirebon)
3. Al-Habib Syarif Hud
Yahya (Babakan Cirebon)
4. Al-Habib Syarif
Tohir Yahya (Pegagan Cirebon)
5. Al-Habib Syarif
Utsman Yahya (Kempek Cirebon)
6. Al-Habib Luthfi
(Pekalongan)
Khodimul Jam'iyyah:
1. Al-Habib Syarif
Husain bin H. Syarif Hud Yahya