Jumat, 30 November 2012

Sekilas Manaqib KH. Sa’id bin KH. Armia bin KH. Kurdi


Sekilas Manaqib KH. Sa’id bin KH. Armia bin KH. Kurdi



KH. Sa’id bin KH. Armia adalah seorang waliyullah dari Tegal, Jawa Tengah. Beliau adalah seorang Kyai yang zuhud dan wira’i. Dalam kehidupan rumah tangganya serba pas-pasan tidak muluk-muluk laiknya para Pejabat yang serba mewah, padahal beliau sang Kyai adalah Kyai terkenal dan sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren, Talang, Tegal.
Suatu hari istri sang Kyai, saat berada di tempat cucian baju sambil memegang gayung untuk mengambil air dari dalam kolam, membatin dalam hatinya: “Ya Allah, aku ingin memiliki emas.”
Seketika itu juga gayung yang ia pegang berubah menjadi emas. Sang Kyai yang melihat kejadian itu menangis dengan penuh kesedihan sambil berkata: “Ya Allah ampunilah istri hambaMu ini yang mempunyai keinginan dunia dalam hatinya.”
Sang istri yang melihat kedatangan suaminya dan mendengar perkataan sang Kyai menjadi malu dan bertobat kepada Allah Swt.
Al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Malang yang sekaligus murid dari KH. Said bin KH. Armia, pernah menceritakan bahwa sewaktu beliau belum menjadi murid KH. Said beliau melihat dari mata batin sebuah cahaya yang memancar ke atas menembus langit dari suatu tempat, karena penasaran beliau mencari sumber cahaya tersebut hingga sampailah beliau di desa Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah dan ternyata sumber cahaya tersebut berasal dari Pemakaman Umum di desa tersebut.
Beliaupun bertanya-tanya; “Siapakah yang dimakamkan di sana? Amalam apa yang menyebabkan makam tersebut mengeluarkan cahaya hingga menembus langit?”
Dan makam tersebut adalah makam seorang waliyullah yang agung yaitu Hadhratus Syeikh KH. Armia bin KH. Kurdi, salah seorang ulama yang selalu mengajarkan kepada masyarakat sekitar tentang Tauhidullah. Beliaupun tertarik untuk belajar kepada putranya yaitu KH. Said bin KH. Armia.

Al-Habib Mundzir al-Musawa bersama Romo KH. Ahmad Sa'idi bin KH. Sa'id
Saat Haul Syeikhuna KH. Armia bin KH. Kurdi di Cikura Bojong Tegal


Sebelumnya Haul KH. Armia belum pernah ada karena KH. Said pernah diwasiati ayahnya untuk tidak mengadakannya. Namun atas usulan al-Habib Abdurrahman Bilfaqih yang mengusulkan untuk selalu mengadakan Haul KH. Armia secara besar-besaran inilah akhirnya sampai sekarang Haul beliau selalu ramai dikunjungi umat Islam dari dalam dan luar negeri. Beliau al-Habib Abdurrahman Bilfaqih memberikan alasan karena untuk mengenang perjuangan KH. Armia dalam mensyiarkan Agama Allah terutama ilmu-ilmu Tauhid.
KH. Hasani  bin KH. Said pernah bercerita bahwa al-‘Allamah Syekh Ali Basalamah  Mursyid Thariqat Tijaniyyah dari Jatibarang, Brebes, Jawa Tengah, mendengar bahwa di Tegal ada seorang Ulama yang mengajarkan Tauhid Imam as-Sanusi. Beliaupun akhirnya datang ke Tegal untuk bersilahturrahim. Sesampainya di  Tegal beliau melihat KH. Said bin KH. Armia sedang mengajarkan Kitab Imam as-Sanusi dan di sebelah kanan KH. Said tampak Sayyidul Wujud Baginda Nabi Agung Muhammad Saw. dan di sebelah kiri KH. Said tampak  al-Imam as-Sanusi Ra. Hal ini menunujukan bahwa KH. Said memilki derajat kewalian yang tinggi dan ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang haq dan bermanfaat.
Tak terhitung jumlahnya murid-murid KH. Said yang menjadi ulama besar. Diantaranya adalah al-Habib M. Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya dan al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih.
Sekitar tahun 1974, Sahlan salah satu murid KH. Said, setiap selesai mengaji pada hari Kamis pagi, beliau selalu sowan ke hadapan al-Marhum KH. Said untuk memijatnya. Saat KH. Said sedang sakit, seminggu sebelum beliau wafat, beliau meminta Sahlan untuk dimasakkan ikan tenggiri dengan dimasak secara dipes atau dipanggang dibungkus dengan daun pisang dan nasinya juga dibungkus dengan daun pisang.
Tapi apalah daya usaha untuk mendapatkan ikan tenggiri di TPI Suradadi, Tegal saat itu sangat sulit. Setiap kali ada perahu yang baru mendarat dan dilihat ternyata tidak ada ikan tenggirinya. Karena waktu hampir jam empat sore akhirnya Sahlan membeli ikan bandeng. Setelah sampai di rumah ikan bandeng tersebut dimasak sesuai pesanan beliau. Kemudian paginya dibawa ke hadapan KH. Said dan selanjutnya beliau pun melahapnya.
Setelah selesai makan, beliau KH. Said berkata kepada Sahlan yang ternyata untuk terakhir kalinya: “Kamu akan punya sumur yang airnya banyak.”
KH. Said bin KH. Armia adalah seorang ulama dan waliyullah yang wafat pada tanggal 20 Rajab tahun1395 H atau sekitar tahun 1974 M dan dimakamkan tak jauh dari Pondok Pesantren Attauhidiyyah, Giren, Talang, Tegal.


Kumpulan koleksi foto:



Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 17 Muharram 1434 H

Manaqib Singkat KH. Miftah Talang, Tegal


Manaqib Singkat KH. Miftah Talang, Tegal



Beliau dilahirkan di Tegal pada tahun 1920 M dan wafat di Tegal pada tanggal 3 Jumadil Akhir 1414 H/ 1994 M. Jasad beliau dimakamkan di desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal.
Pengembaraan menuntul ilmunya dimulai di Pondok milik kakaknya di Pekalongan pada usia sekitar 8 tahun. Dalam usia tersebut beliau telah mampu menghafal beberapa kitab matan klasik seperti matan al-Ajrumiyyah, Nadzam Maqshud dan al-’Imrithiy.
Setelah 2 tahun beliau mondok kepada kakaknya, beliau meneruskan ke Pondok Pesantren Kempek Cirebon selama 4 tahun. Usai dari Kempek beliau mulai melanjutkan pengembaraan menuntut ilmunya ke daerah timur.
Beliau sempat mondok di Watucongol walau sebentar saja hanya sekitar 2 bulan. Kemudian beliau memutuskan untuk mondok di Mbah Manaf Romo KH. Abdul Karim Pondok Pesantren Lirboyo Kediri selama 25 tahun.
Pengembaraannya yang cukup lama. kurang lebih 31 tahun, membuahkan hasil. Jadilah beliau seorang yang alim dan mengamalkan ilmunya. Kepulangannya ke kampung halaman disambut dengan suka cita warga setempat sehingga akhirya beliapun menjadi tokoh panutan warga NU dan khususnya warga Tegal.
Berdasarkan penuturan dari anak-anak beliau, mengenai nasab KH. Miftah, tak ada yang mengetahui dengan jelas keturunan siapakah sebenarnya sang abah. Setelah dicari dari berbagai sumber terpercaya ternyata KH. Miftah adalah keturunan dari Sunan Amangkurat yang bersambung kepada Raja Mataram hingga kepada Raja Brawijaya.
Perjuangan beliau tidak diragukan lagi. Seperti halnya para tokoh-tokoh ulama lainnya dalam memperjuangkan agama islam, beliau tak setengah-setengah menyerahkan jiwa dan raganya demi tegaknya aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah di bumi Indonesia khususnya di Kota Tegal.
Dalam struktural NU beliau pernah menjabat sebagai:
1.      Rois Syuriyah PC NU Kab. Tegal
2.      Syuriyah PWNU Jawa Tengah
3.      Tim 9 Lajnah Falakiyah PBNU.
4.      Dan termasuk dalam Tim Itsbat Departemen Agama RI.
Diantara wasiat atau pesan-pesan yang diberikan oleh KH. Miftah yaitu:
“Tawadhu’, andap asor, rendah hati, sedikit bicara, dan menghargai waktu.”
“Hargailah waktu, orang yang tidak bisa dan tidak mau menghargai waktu, pertanda orang tersebut tidak mengerti harga dan mahalnya waktu.”

Koleksi foto:


Sya’roni as-Samfuriy, 16 Muharram 1434 H

Syair Jawa Klasik Peninggalan Ulama Klasik



LESTARIKAN TRADISI UNTUK MENGUKUHKAN NKRI
(NKRI HARGA MATI)

Syair Jawa Klasik Peninggalan Ulama Klasik



Do elingo iki zamane wis tuwo # Tuntunan agomo do dianggep kuno
Lakonono ajarane Walisongo # Sing ra kerso ojo nyocot ojo ngino
Ajarane Walisongo werno-werno # Dzikir tahlil kirim dungo lakonono

Moco Qur’an lan sholawat kulinoho # Ziaroh kubur ojo nganti dilale’no
Ono carane dakwah klawan budoyo # Umpamane koyo Sunan Kalijogo

Pituture mlebu ati ora kroso # Tuntunan agomo biso diamalno
Wis kabukten rikolo zaman sa’mono # Akeh poro manungso nyembah braholo
Banjur sadar laku musyrik ditinggalno # Podo nderek ajarane Walisongo


Terjemahan Bebas

Ingatlah sekarang bumi sudah tua (zaman Akhir) # Orang yang (masih) religius(mengamalkan agama) dianggap kuno
Maka lakukanlah apa yang pernah diajarkan Walisongo # Yang tidak mau (menolak) jangan banyak bacot dan menghina
Ajaran (Rasulullah yang dibawa) Walisongo bermacam-macam # Dzikir, tahlil, kirim doa (kepada orang yang berjasa) lakukanlah
Biasakanlah baca al-Qur'an dan Sholawat # Ziarah qubur jangan sampai dilupakan

Ada cara berdakwah (Walisongo) melalui budaya # Contohnya seperti Sunan Kalijaga
Pesan agama tak terasa masuk ke hati # Perintah agama bisa dikerjakan
Sudah banyak terbukti jaman dahulu # Banyak orang menyembah berhala
Cepatlah sadar dan tinggalkanlah syirik # Ayo pada mengikuti ajaran (Rasulullah) yang dibawa Walisongo

Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 16 Muharram 1434 H

HAUL AKBAR ROMO HADHRATUS SYAIKH KH. ARMIA BIN KH. KURDI


KUNJUNGILAH!!!

Keterangan Foto: Romo Syeikhuna KH. Ahmad Sa'idi bin KH. Sa'id bin KH. Armia bin KH. Kurdi (Pengasuh 1 Ponpes Attauhidiyyah, Giren, Talang, Tegal & Cikura, Bojong, Tegal) saat menyambut kehadiran KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Haul KH. Armia beberapa tahun yang silam.


Dapatkan ILMU & BAROKAH pada acara
HAUL AKBAR ROMO HADHRATUS SYAIKH KH. ARMIA BIN KH. KURDI

Tempat: Pondok Pesantren (Terbesar di Tegal) Attauhidiyyah Desa Cikura Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal

Acara dimulai dari

Hari: Senin-Selasa
Tangal: 26-27 Muharram 1434 H / 10-11 Desember 2012 M

Kamis, 29 November 2012

Kisah Al-Habib Mundzir Al-Musawa Saat Jumpa Pertama Kali Dengan Al-Habib Umar bin Hafidz


Kisah Al-Habib Mundzir Al-Musawa Saat Jumpa Pertama Kali Dengan Al-Habib Umar bin Hafidz




            Kisah ini bermula saat perjumpaan al-Habib Mundzir bin Fuadz al-Musawa pertama kalinya dengan sang Guru Mulia al-Habib Umar bin Hafidz. Berikut ini adalah penuturan langsung al-habib Mundzir bin Fuad al-Musawa:

Kebahagiaan dan kesejukan rahmatNya semoga selalu menaungi hari-hari Anda, Saudaraku yang kumuliakan. Saya adalah seorang anak yang sangat dimanja oleh ayah saya. Ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lain. Namun di masa baligh justru saya yang putus sekolah. Semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka dan kecewa pada saya karena saya malas sekolah. Saya lebih senang hadir Majelis Maulid al-Marhum al-Arif Billah al-Habib Umar bin Hud Alattas dan Majelis Taklim Kamis sore di Empang Bogor, masa itu yang mengajar adalah al-Marhum al-Allamah al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dengan kajian kitab Fathul Baari.
Sisa hari hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam, dzikir beribu kali, dan puasa Nabi Daud As, dan shalat malam berjam-jam. Saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.
Ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah al-Marhum al-Allamah al-Habib Alwi al-Malikiy, ayah dari al-Marhum al-Allamah as-Sayyid Muhammad bin Alwi al-Malikiy. Ayah saya juga sekolah di Amerika Serikat, dan mengambil gelar sarjana di New york University.
Almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam bidang agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia. Beliau berkata pada saya: Kau ini mau jadi apa?, jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai ke luar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai ke luar negeri, namun saranku tuntutlah ilmu agama, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri Barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu.
Maka ayahanda al-Marhum hidup dalam kesederhanaan di Cipanas, Cianjur, Puncak, Jawa barat. Beliau lebih senang menyendiri dari Ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji, ratiban, dan shalat berjamaah.
Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda karena boleh dikatakan, dunia tidak akhiratpun tidak. Namun saya sangat mencintai Rasul Saw., menangis merindukan Rasul Saw., dan sering dikunjungi Rasul Saw. dalam mimpi. Rasul Saw. selalu menghibur saya jika saya sedih.
Suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau Saw., dan berkata: Wahai Rasulullah Saw. aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu, ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini.”
Rasul Saw, menepuk bahu saya dan berkata: Mundzir, tenanglah. Sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa denganku.” Maka saya terbangun.
Akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil di depan rumah berupa 5 kamar saja dan disewakan pada orang yang baik-baik untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya.
Setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung di kursi penerimaan tamu yang cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam. Demikian malam-malam saya lewati,
Siang hari saya puasa Nabi Daud As., dan terus dilanda sakit asma yang parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa. Berkata ibunda saya: Kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yang gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran?.
Saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.
Sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya pesantren di al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf  di Bukit Duri Jakarta Selatan, namun hanya dua bulan saja. Saya tidak betah dan sakit-sakitan karena asma terus kambuh, maka saya pulang.
Ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya prifat saja kursus bahasa Arab di kursus bahasa Arab Assalafi, pimpinan al-Marhum al-Habib Bagir Alattas, ayahanda al-habib Hud Alattas yang kini sering hadir di Majelis kita di al-Munawar.
Saya harus pulang pergi Jakarta-Cipanas yang saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dengan ongkos sendiri. Demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen tersebut.
Saya selalu hadir Maulid di al-Marhum al-Arif Billah al-Habib Umar bin Hud Alattas yang saat itu di Cipayung. Jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan-hujanan pula. Sering saya datang ke Maulid beliau malam Jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu di rumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya. Saya terpaksa berdiri saja berteduh di bawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan. Maka saya duduk di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
Saya sering pula ziarah ke Luar Batang, makam al-Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Suatu kali saya datang lupa membawa peci, karena datang langsung dari Cipanas. Maka saya berkata dalam hati: Wahai Allah, aku datang sebagai tamu seorang waliMu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas-pasan dan aku lapar. Kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang.”
Maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual peci. saya membelinya dan masuk berziarah sambil membaca Yaasin untuk dihadiahkan pada almarhum. Saya menangisi kehidupan saya yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh. Mereka berkata: Kakak-kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan pula New York University, kok anaknya centeng losmen.” Maka saya mulai menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.
Walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati: Wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih di sisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang.”
Lalu dalam saya merenung, datanglah rombongan teman-teman saya yang pesantren di al-Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil. Mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah. Lalu saya ditanya dengan siapa dan mau ke mana. Saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya saja di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jakarta Selatan. Mereka berkata: Ayo bareng saja, kita antar sampai Kebon Nanas.” Maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke Cipanas.
Saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di Pasar Sawo Kebon Nanas. Lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke Cipanas.
Tak lama saya berdoa: Wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yang paling dicintai Rasul Saw.” maka tak lama saya masuk pesantren al-Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi timur. Di setiap saat Mahal Qiyam Maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul Saw., dan dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul Saw.
Dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia al-Musnid al-Allamah al-Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pada tahun 1994 M.
Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dengan tajam, saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu. Lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela, maka Guru Mulia memanggil al-Habib Nagib bin Syeikh Abubakar. Guru Mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadhramaut Yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau. Guru saya al-Habib Nagib bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa bahasa Arab, murid baru dan belum tahu apa-apa. Mungkin beliau salah pilih?
Maka Guru Mulia menunjuk saya, Itu anak muda yang pakai peci hijau itu, itu yang saya inginkan.
Maka Guru saya al-Habib Nagib memanggil saya untuk jumpa beliau. Lalu Guru Mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka: Siapa namamu?, dalam bahasa Arab tentunya. Saya tak bisa menjawab karena tak faham. Maka guru saya al-Habib Nagib menjawab: Kau ditanya siapa namamu, Maka saya jawab nama saya, lalu Guru Mulia tersenyum.
Keesokan harinya saya jumpa lagi dengan Guru Mulia di kediaman al-Marhum al-habib Bagir Alattas. Saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid Guru Mulia, maka guru mulia mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka. Lalu guru mulia melihat saya di kejauhan, lalu beliau berkata pada al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela: Itu, anak itu jangan lupa dicatat, ia yang pakai peci hijau itu.
Guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya al-Habib Nagib bin Syekh Abubakar, seraya berkata: Wahai Mundzir, kau harus siap-siap dan bersungguh-sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap.”
Dua bulan kemudian datanglah al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela ke pesantren, dan menanyakan saya. Almarhum al-Habib Umar Maulakhela berkata pada al-Habib Nagib: Mana itu Mundzir anaknya Habib Fuad al-Musawa? Dia harus berangkat Minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya.”
Maka al-habib Nagib berkata bahwa saya belum siap, namun al-Marhum al-Habib Umar Maulakhela dengan tegas menjawab: Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan al-Habib Umar bin Hafidz, ia harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama.
Saya persiapkan pasport dll, namun ayah saya keberatan, ia berkata: Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman di sana, namun ke Hadhramaut itu ayah tak ada kenalan, di sana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit? Siapa yang menjaminmu?
saya pun datang mengadu pada al-Marhum al-Arif Billah al-Habib Umar bin Hud Alattas. Beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata: Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah.
Saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat. Saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dengan berat tetap melangkah ke mobil travel yang akan saya naiki. Namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh di sana ayah saya berdiri di pagar rumah dengan tangis melihat keberangkatan saya. Beliau melambaikan tangan tanda ridho. Rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dengan saya, saya berangkat dengan air mata sedih.



Saya sampai di Tarim, Hadhramaut, Yaman di kediaman Guru Mulia. Beliau mengabsen nama kami. Ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah.
Tak lama kemudian terjadilah perang Yaman Utara dan Yaman Selatan. Kami di Yaman Selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki ke mana-mana menempuh jalan 3-4 km untuk taklim karena biasanya dengan mobil milik Guru Mulia namun di masa perang pasokan bensin sangat minim.
Suatu hari saya dilirik oleh Guru Mulia dan berkata: Namamu Mundzir (mundzir = pemberi peringatan), saya mengangguk. Lalu beliau berkata lagi: Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak.”
Maka saya tercenung dan terngiang-ngiang ucapan beliau: Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak, saya akan punya jamaah? Saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci.
Saya mau mencucikan baju teman saya dengan upah agar saya kebagian sabun cucinya, malah saya dihardik: Cucianmu tidak bersih, orang lain saja yg mencuci baju ini. Maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yang mengalir itulah yang saya pakai mencuci baju saya.
Hari demi hari Guru Mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri. Saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada Guru Mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata: Kapan kau pulang wahai anakku? aku rindu.”
Saya jawab: Dua tahun lagi insya Allah ayah.
Ayah menjawab dengan sedih di telepon: “Duh masih lama sekali, telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dengan beliau, dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan air mata. Duhai kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau rahimahullah.
Tak lama saya kembali ke Indonesia, tepatnya pada tahun 1998, mulai dakwah sendiri di Cipanas, namun kurang berkembang. Maka saya mulai dakwah di Jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah ke rumah murid sekaligus teman saya. Majelis malam Selasa saat itu masih berpindah-pindah dari rumah ke rumah. Mereka murid-murid yang lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti.
Setibanya mereka yang cuma belasan saja, mereka berkata: Nyantai dulu ya bib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya, saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai Maulid Dhiyaullami,
Jamaah makin banyak, mulai tak cukup di rumah-rumah, maka pindah-pindah dari musholla ke musholla.  Jamaah makin banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah-pindah dari masjid ke masjid.
Lalu saya membuka majelis di hari lainnya, dan malam Selasa mulai ditetapkan di masjid Almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja, saya berkata: Jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya Allah,” jamaah mengaminkan.
Mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dan lain sebagainya. Maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama, mereka sarankan Majelis Habib Mundzir saja, saya menolak, ya sudah, Majelis Rasulullah Saw saja.
kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, bahkan sampai ke Jepang, dan salah satunya kemarin hadir di Majelis Haul Badr kita di Monas, yaitu Profesor dari Jepang yang menjadi dosen di sana. Dia datang ke Indonesia dan mempelajari bidang sosial, namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dengan saya, karena ia pengunjung setia web ini, khususnya yang versi english.
Sungguh agung anugerah Allah Swt. pada orang yang mencintai Rasulullah Saw, yang merindukan Rasulullah Saw.
itulah awal mula hamba pendosa ini sampai Majelis ini demikian besar, usia saya kini 38 tahun jika dengan perhitungan hijriah, dan 37 tahun  jika dengan perhitungan masehi, saya lahir pada Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 Februari 1973 M.
Perjanjian jumpa dengan Rasul Saw. adalah sebelum usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1431 H, mungkin sebelum sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dengan Rasul Saw. Namun apakah Allah Swt. akan menambah usia pendosa ini? Wallahu a’lam.
Salam rindu terdalam untuk anda.

Ditulis ulang oleh Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 16 Muharram 1434 H