KI GEDE SEBAYU
Menurut silsilah, Ki Gede Sebayu keturunan
darah bangsawan dari Batoro Katong atau Syech Sekar Delima (Adipati Wengker
Ponorogo). Ayahnya bernama Pangeran Onje (Adipati Purbalinga). Sejak kecil, Ki
Gede Sebayu diasuh oleh eyangnya yaitu Ki Ageng Wunut yang selama hidupnya
menekuni Agama Islam. Hal ini membawa dampak bagi perkembangan Ki Gede Sebayu
yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku ramah dan santun. Setelah menginjak
dewasa, Ki Gede Sebayu oleh ayahnya disuwitakan di Keraton Pajang yaitu
Kasultanan Adiwijaya. sebagai prajurit tamtama sehingga Ki Gede Sebayu
memperoleh pendidikan keprajuritan dan ilmu kanuragan. Ketika Aryo Pangiri
berkuasa menggantikan Kesultanan Pajang, Ki Gede Sebayu pergi meninggalkan
Pajang menuju Desa Sedayu. Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu Raden
Ayu Rara Giyanti Subhaleksana menikah dengan Ki Jadug (Pangeran Purbaya) dan
Raden Mas Hanggawana.
Ketokohan Ki Gede Sebayu mulai nampak ketika
terjadi perang antara Kerajaan Pajang dan Jipang. Ki Gede Sebayu bergabung
dengan prajurit Mataram bersama Pangeran Benowo untuk menyingkirkan Aryo
Pangiri. Ketika itu Ki Gede Sebayu dengan tombak pendeknya menyerang prajurit
Pajang sehingga banyak yang tewas dan akhirnya Aryo Pangiri menyerah dan diusir
dari Keraton Pajang. Kemudian Keraton pajang diserahkan kepada Pangeran Benowo.
Setelah selesai pertempuran (1587), Ki Gede
Sebayu dan pengikutnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah barat dan
sampai di Desa Taji (wilayah Bagelan) disambut oleh Demung Ki Gede Karang Lo.
Kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyumas (Kadipaten Purbalingga) untuk
ziarah ke makam ayah Ki Gede Sebayu dan akhirnya sampai di Desa Pelawangan
kemudian menyusuri pantai utara ke arah barat dan sampailah di Kali Gung
(Padepokan Ki Gede Wonokusumo). Kedatangan Ki Gede Sebayu bersama rombongan
yang bermaksud “mbabat alas” membangun masyarakat tlatah Tegal disambut gembira
oleh Ki Gede Wonokusumo. Ki Gede Sebayu mulai menyusun rencana dan strategi
untuk melakukan pembangunan yaitu :
|
Ide dan pemikiran Ki Gede Sebayu memberikan
banyak kemajuan bagi masyarakat
Para petani dapat memanfaatkan alat-alat pertanian dengan adanya hasil kerajinan pandai besi. Pasar perdagangan semakin ramai karena banyak masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan kayu, menjahit, pembuatan alat dapur dari tembaga, pertukangan emas dan sebagainya.
Para petani dapat memanfaatkan alat-alat pertanian dengan adanya hasil kerajinan pandai besi. Pasar perdagangan semakin ramai karena banyak masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan kayu, menjahit, pembuatan alat dapur dari tembaga, pertukangan emas dan sebagainya.
Taraf hidup masyarakat meningkat dengan
didukung pembuatan jalan desa, pembangunan rumah penduduk yang dilakukan secara
gotong royong , mengatur keamanan secara bersama-sama.
Atas keberhasilannya dalam membangun Tegal maka
pada tahun 1601 M atau 1523 Caka, Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati
Mataram mengangkat Ki Gede Sebayu sebagai Juru Demung (Penguasa Lokal di Tlatah
Tegal) dengan pangkat Tumenggung setingkat Bupati.
Ki Gede Sebayu Tegal
Identitas Kabupaten Tegal dijiwai oleh semangat kejayaan Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah tegal. Sebagaimana tertera dalam buku silsilah raja-raja se-Tanah Jawa. Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan yang bernama Bathara Katong Adipati Ponorogo dan beliau adalah putra ke-22 dari 90 bersaudara, kemudian Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu : Raden Ayu Giyanti Subalaksana itri dari Pangeran Selarong (Pangeran Purboyo), dan Ki Gede Honggowono ayah dari Ki Gede Hanggowono Seco Menggolo Jumeneng Tumenggung Reksonegoro Ke-I yang dimakamkan di Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru.
Ki Gede Sebayu banyak pengabdiannya pada Pemerintah Kanjeng Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.
Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng Panembahan Senopati untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.
Dengan restu dari Panembahan Senopati, Ki Gede Sebayu pergi ke tlatah Tegal yang diikuti oleh 40 pasangan keluarga terpilih yaitu mereka yang memiliki keahlian di berbagai bidang keterampilan. Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan akhirnya rombongan Ki Gede Sebayu sampai di tepian Kali Gung dan disambut oleh Ki Gede Wonokusumo, yaitu sesepuh dan penanggung jawab makam Pangeran Drajat (Mbah Panggung).
Mengetahui tujuan mulia dari kedatangan Ki Gede Sebayu ke tlatah Tegal yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Ki Gede Wonokusumo dengan tulus ikhlas membantu menata rombongan Ki Gede Sebayu dengan menitipkan keluarga-keluarga dari rombongan itu ke daerah-daerah sepanjang Kali Gung sesuai bidang-bidang keahlian masing-masing dan berakhir di Dukuh Karangmangu Desa Kalisoka (Kecamatan Dukuhwaru-sekarang) sesuai bidang keahlian yang dimilikinya.
Kedatangan keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu di masing-masing daerah itu dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan daerahnya. Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat, antara lain : pembudidayaan tanaman pangan, kerajinan emas dan tenun kain selendang. Di bidang kerohanian, didirikan pondok pesantren yang sampai sekarang masih terkenal.
Menyikapi perkembangan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang belum tampak nyata, sedangkan sebagian besar bermata pencaharian tani ladang ( tanah kering ) yang hasilnya kurang menguntungkan.
Ki Gede Sebayu beserta dua orang pengikut setianya, Ki Sura Lawayan dan Ki Jaga Sura berjalan sepanjang tepi Kali Gung ke selatan sampai di suatu igir gunung selapi. Dan muncullah niat membangun bendungan untuk mengalirkan air dari Kali Gung ke persawahan.
Perkembangan selanjutnya, dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Ki Gede Sebayu beserta pengikut dan masyarakat sekitarnya dalam membendung Kali Gung hingga menjadi sumber pengairan bagi pertanian di daerah sekitarnya yang kemudian disebut Bendungan Danawarih, daerah Tegal yang maju pesat ini, gaungnya sampai ke negeri Mataram.
Kemudian atas jasa-jasa Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah Tegal, oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Panembahan Senopati Sayyidin Penata Gama Ratu Bimantoro di negeri Mataram diangkat menjadi Juru Demang setarap dengan Tumenggung di Kadipaten Tegal pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.
Dengan berpedoman inilah disepakati sebagai HARI JADI KABUPATEN TEGAL dan sekaligus KI GEDE SEBAYU dijadikan tokoh pendiri atau anutan masyarakat Kabupaten Tegal karena:
1. Taat dan taqwa kepada Allaw SWT
2. Sebagai tokoh pembangunan pertama di tlatah Tegal
3. Ki Gede Sebayu adalah pemimpin kharismatik
4. Merupakan cikal bakal pemimpin di tlatah Tegal yang banyak menurunkan Bupati di Kabupaten Tegal dan Brebes.
5. Makam Ki Gede Sebayu di wilayah Kabupaten Tegal yaitu Desa Danawarih.
Ki Gede Sebayu
merupakan keturunan trah Majapahit. Pada saat terjadi pergolakan perebutan
kekuasaan beliau lebih memilih diam. Bahkan pada saat suasana makin kacau, Ki
Ageng Ngunut (kakek Sebayu) mendesak Ki Gede Sebayu agar menyelamatkan
Kerajaan Pajang. Namun, Ki Gede Sebayu menolak.
Melihat
penderitaan manusia akibat perebutan kekuasaan antar keluarga itu tidak kunjung
reda, Ki Gede Sebayu malah pilih pamit untuk menyingkir ke barat. Beliau
melepas atribut kebangsawanannya dan mengembara mencari hakekat hidup.
Sampailah beliau di sebuah daerah penuh ilalang, padang rumput luas dengan
sungai besar yang dialiri air bening sampai muara laut utara. Beliau
terperangah melihat hamparan padang rumput luas yang nyaris tak berpenghuni
itu.
Di sana hanya
ada beberapa bangunan semipermanen yang dihuni sejumlah santri dan sebuah makam
keramat. Makam tersebut adalah tempat jenazah Sunan Panggung atau Mbah
Panggung dikebumikan. Terbersitlah di dalam benak Ki Gede Sebayu untuk
mengajari warga pesisir itu bercocok tanam. Beliau merasa menemukan
persinggahan yang menjanjikan, sehingga menghentikan pengembaraannya. Diajaknya
warga setempat membabat alang-alang agar jadi tegalan. Selain itu, beliau juga
membuat bendungan di hulu sungai daerah Danawarih untuk dijadikan sumber air
irigasi.
Sementara itu,
Pangeran Benowo diangkat menjadi raja Pajang. Beliau membutuhkan sepupunya,
yang tak lain adalah Ki Gede Sebayu, untuk menjadi patih. Pangeran Benowopun
mengutus sejumlah prajurit untuk mencari Ki Gede Sebayu. Di Desa Tegal,
tempat Sebayu bermukim, sepupu Pangeran Benowo itu ditemukan. Namun karena Ki Gede Sebayu tidak mungkin meninggalkan rakyat Tegal, maka Pangeran Benowo melantik beliau menjadi juru demang atau sesepuh Desa Tegal. Anugerah sebagai sesepuh desa diberikan pada malam Jumat Kliwon, 15 Sapar Tahun 988 Hijriah, atau tahun 588 EHE. Waktu itu bertepatan dengan 12 April 1580 Masehi.
tempat Sebayu bermukim, sepupu Pangeran Benowo itu ditemukan. Namun karena Ki Gede Sebayu tidak mungkin meninggalkan rakyat Tegal, maka Pangeran Benowo melantik beliau menjadi juru demang atau sesepuh Desa Tegal. Anugerah sebagai sesepuh desa diberikan pada malam Jumat Kliwon, 15 Sapar Tahun 988 Hijriah, atau tahun 588 EHE. Waktu itu bertepatan dengan 12 April 1580 Masehi.
Ki Gede Sebayu dalam
Narasi yang Datar dan Sepi.
1.
Romantisme,Kebanggaan dan Jatidiri.
Sejak ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten
Tegal 16 tahun yang lalu melalaui Perda Kab.Tegal no.13/95 dan dikukuhkan
dengan SK Gubernur Jawa Tengah no.188.3/101/1996 masyarakat kabupaten Tegal
sudah 17 kali menyelenggarakan acara dan upacara yang jatuh pada setiap tanggal
18 Mei.Peringatan serupa juga dilakukan oleh semua wilayah kabupaten/kota
bahkan propinsi diseluruh In-donesia.Melalui peringatan semacam itu,diharapkan
momentum hari jadi dapat dijadikan sarana sebagai upaya-upaya pembentukan jati
diri dan kebanggaan daerah pada masyarakatnya.Kesepakatan yang bersifat politis
melalui aspek sejarah dan budaya ini,biasanya menampilkan romantisme masa lalu
melalui tokoh (lokal) yang berjasa dan dihormati. Tidak jarang dibumbui dengan
menampilkan legenda dan cerita-cerita magis tokoh yang digdaya penuh kesaktian
dalam epos-epos peperangan maupun perjuangan melawan musuh dan menegakkan
keadilan.
Dalam sebuah diskusi tentang hari jadi sebuah
kota beberapa tahun yang lalu terungkap adanya anggapan bahwa semakin tua
sebuah wilayah semakin menambah wibawa dan kebesaran sang tokoh. Hal tersebut
diharapkan akan berdampak semakin besarnya kebanggaan warga terhadap
wilayahnya.
Kota Palembang terkesan sangat tua dan memiliki
sejarah kebesaran masa silam , karena berdiri sejak tanggal 20 Juni 683 dan
tahun ini merayakan ulang tahunnya yang ke 1328.
Kota Jakarta menetapkan hari jadinya pada
tanggal 22 Juni 1527 dan tahun ini genap berusia 484 tahun.Tanggal tersebut
ditetapkan sebagai pertanda kemenangan Fatahillah setelah berhasil mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa,dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta.Bagaimana kedahsyatan tokoh “super hero” ini bertempur melawan
Portugis,hampir 5 abad yang lalu,sampai hari ini masih dapat disaksikan melalui
tayangan film/tv. Kebesaran nama Fatahillah diabadikan pada beberapa bangunan
dan kawasan di Jakarta.bahkan nama kapal perang Angkatan Laut RI.
Kota Cirebon tahun ini berulang tahun yang
ke-642. Hari jadi kota Cirebon tidak menggunakan penanggalan Masehi,tetapi
mengikuti penanggalan Hijriah, yakni setiap tanggal 1 Muharam (1 Syura). Pada
tanggal 1 Muharam 791 H Syekh Datul Kahfi memerintahkan kepada
muridnya,Pangeran Cakrabuana pendiri Kerajaan Pakungwati untuk membuka hutan di
kawasan pesisir Cirebon untuk dijadikan pemukiman penduduk, yang kemudian
menjadi Kasultanan Cirebon.Syekh Datul Kahfi adalah kakak dari ibu Syekh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,salah satu dari Sembilan Wali penyebar
agama Islam di tanah Jawa. Yang masih dikenang (dan kemudian dianut) warga
masyarakat Cirebon sampai saat ini adalah Wasiat Sunan Gunung Jati dalam bahasa
Cirebon “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang artinya “Aku menitipkan
surau dan fakir miskin”. Sebuah artikulasi yang sangat dalam maknanya dan masih
relevan untuk dilaksanakan sampai saat ini.
2.
Ki Gede Sebayu dalam narasi yang datar dan
sepi.
Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu
tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam
beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati
Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada
Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan
Pajang.Akibat frustasi menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan
perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu
melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakekat hidup.Dengan
diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai
ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah
barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih
berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing
anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga
sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka
kemudian menularkan keahliannya dibidang
pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru
pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan
bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan
misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul Awal 1010 H, atau 18
Mei 1601 M oleh Panembahan Senopati raja Mataram beliau dianugrahi gelar Juru
Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari
Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal
untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21
tahun lebih tua.
Narasi tokoh Ki Gede Sebayu dalam pengembaraan
panjang dan melelahkan memang terasa datar dan sepi. Kita bisa
membayangkan,bagaimana iring-iringan puluhan orang yang terdiri dari para
prajurit,petani,tukang kayu,tukang besi,ulama,termasuk wanita dan
ibu-ibu,berjalan melintasi lembah dan pegunungan,menyeberang sungai dan
menyusuri pantai. selama berhari-hari.Dari kacamata literasi,ini adalah sebuah
epos yang sangat spektakuler. Namun misi suci Ki Gede Sebayu yang sangat luar
biasa tersebut seolah hanya peristiwa biasa.Padahal peristiwa tersebut dari
aspek politik dan sosial budaya memiliki nilai yang sangat besar, yakni:
1.
Menguatnya legitimasi kekuasaan Mataram di
wilayah barat, terbukti kemudian dengan diangkatnya keturunan Ki Gede Sebayu
menjadi Adipati di Tegal dan Brebes.
2.Terbangunnya pranata sosial dan kemakmuran melalui budaya bercocok tanam sebagai modal dasar ketahanan dan pertahanan suatu wilayah.Hal ini perlu dilakukan,karena waktu itu adalah awal masuknya kolonialisme Belanda (1601) yang diyakini akan menguasai dan menghancurkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
2.Terbangunnya pranata sosial dan kemakmuran melalui budaya bercocok tanam sebagai modal dasar ketahanan dan pertahanan suatu wilayah.Hal ini perlu dilakukan,karena waktu itu adalah awal masuknya kolonialisme Belanda (1601) yang diyakini akan menguasai dan menghancurkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
2.
Sayangnya gagasan futuristik tersebut tidak
sempat diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang akan dicacat oleh sejarah
dan dikenang oleh generasi yang bakal datang. Ki Gede Sebayu tidak pernah
mewariskan kredo seperti halnya Sunan Gunung Jati: “Ingsun titip tajug lan
fakir miskin.” Atau Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada: “Lamun huwus
kalah Nusantara, isun amukti palapa…”
3.
Membangun karakter sambil membangkitkan
imajinasi.
Dengan peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal
yang diselenggarakan setiap tahun,diharapkan akan terbangun karakter warga yang
memiliki ciri dan perilaku sebagaimana yang ingin diteladankan Ki Gede
Sebayu.Untuk mengaktualisasikan dan mengomunikasikan teladan luhur tersebut
kehadapan khalayak,bukan hal yang mudah,mengingat panjangnya rentang waktu masa
silam.Imajinasi khalayak tentang Ki Gede Sebayu yang tidak ditopang oleh
referensi dan korelasi profil yang stereotip,khas,dengan “his story” yang
unik,dramatik apalagi heroik,kiranya sangat sulit untuk dimunculkan.Acara dan
upacara setahun sekali yang lebih bersifat formal dan artifisial,pidato-pidato
dan kirab pusaka serta tampilan para pejabat yang feodalistik
aristokratif,semakin menjauhkan dengan misi budaya pertanian dan pedesaan ,yang
masih tetap relevan dengan problem mayoritas masyarakat Kabupaten
Tegal.Diperlukan gagasan yang cerdas untuk bisa sekadar menyentuhkan misi Ki
Gede Sebayu 4 abad yang lalu.Sehingga nama Ki Gede Sebayu akan bisa terpateri
dalam sanubari setiap warga Kabupaten Tegal.
Pohon Jati Ki Gedhe Sebayu (Membedah Makna Sayembara Ki Gede Sebayu)
“Sapa-sapa
satriya sing bisa negor wit jati nganti bisa rubuh, bakal dak tampa dadi
jodhone anakku, Raden Ayu Siti Giyanti Subalaksana.”
Demikian
sabda Ki Gedhe Sebayu ketika mengumumkan sayembara kepada seluruh kesatriya
tanah Jawa. Artinya, siapa saja kesatriya Jawa yang bisa menebang pohon jati
sehingga roboh, akan diterima menjadi jodoh putrinda, Raden Ayu Siti Giyanti
Subalaksana. Disamping itu, wit jati atau pohon jati tersebut
nantinya akan menjadi sakaguru bagi Masjid Agung
Kalisoka. Namun dalam sayembara itu tak seorangpun mampu menebang wit jati
tersebut hingga roboh. Sudah dua puluh empat kesatriya
gagal melaksanakan sayembara Ki Gedhe Sebayu.
Pada
saat semua orang hampir putus asa, datanglah seorang pemuda. Ia bernama Ki
Jadhug yang mengaku dari dukuh Sigeblag, desa Slarang Kidul, kecamatan
Lebaksiu. Konon Ki Jadhug adalah Jaka Umbaran atau Panembahan Purubaya ketika
muda. Putra sulung Panembahan Senapati ing Alaga Mataram ini sedang
melaksanakan kewajiban kesatriya Jawa untuk lelana. Yakni berkelana demi
menajamkan hati dan pikiran. Ki Jadhug mengikuti sayembara akbar tersebut.
Dengan susah payah, beliau berhasil juga melaksanakan amanat Ki Gedhe. Beliau
mencerabut wit jati
tersebut hingga akar-akarnya ke permukaan tanah. Dan ketika sang wit jati
tercerabut, semua khalayak menyaksikan angin kencang yang membantu Ki Jadhug.
Akhirnya, pekik tahmid dan takbir
dari Ki Gedhe Sebayu mengiringi robohnya sang wit jati.
Demikian
babad, serat, dan legenda masyarakat Jawa mencatat peristiwa agung itu. Namun
kita harus mencermati secara seksama peristiwa tersebut agar mencapai kedalaman
makna. Bahkan makna yang dimaksud oleh para leluhur itu sendiri. Untuk mencapai
makna itu, para leluhur memberikan beberapa catatatan sebagaimana yang
termaktub dalam kitab Betal Jemur Atassadhur Adammakna.
Teks itu berbunyi demikian di bawah ini.
Pertama, tiyang
ngudi kawruh punika kedah telatos panyuraosipun, murih mangertos ing lair
batos. Sebab yen boten mekaten, kawruh ingkang sejatosipun langkung miraos
tumrap raosing manah, boten siwah kadidene raosing madu pinasthika, temah
lajeng malik garembyang dados raos pait asengak kadidene tuwak sajeng ingkang
angendemi. Ing wusana lajeng andadosaken wisaning jiwa raga.
Artinya, orang yang sedang menyelami pengetahuan hidup harus telaten
perasaannya, agar mampu mengerti maknanya secara lahir dan bathin. Sebab jika
tidak demikian (telaten), pengetahuan hidup yang seharusnya lebih bermakna
dalam pengertian rasa dan hati nurani, tidak tergelincir maknanya bagaikan rasa
madu yang paling unggul, malah (rasa) yang dijumpai menjadi terbalik
pahit-sengak seperti tuak yang memabukkan. Akhirnya rasa pengetahuan yang
diperoleh terbalik itu malah menjadi racun pemahaman bagi jiwa dan raga.
Dalam
menggali makna kisah sayembara wit jati Ki Gedhe Sebayu di atas,
kita tidak mungkin hanya berhenti pada pemahaman jasadiyah saja. Jika demikian
pendalaman makna akan berhenti pada kehebatan-kehebatan yang sifatnya kejadhugan,
kadigdayan, kesaktian, yang arahnya cenderung pada terbentuknya wisaning
jiwa raga. Atau terbentuknya semacam racun berbisa yang merusak
jiwa dan raga, yaitu watak yang semata-mata mengarah kepada adigang,
adigung, dan adiguna. Jika demikian maka makna
yang dicapai malah mendekatkan kepada nafsu angkara atau wisaning
jiwa raga. Sehingga capaian makna belum mengenai sasaran makna yang
dimaksud, atau raosing madu pinasthika. Yakni
keluhuran dan kemuliaan budi pekerti.
Kedua, sedaya
serat-serat piwulang punika prasasat boten wonten tembung ingkang ukaranipun
kadamel prasaja. Nanging wonten tembung paribasan, pasemon, pralambang, tuwin
pralampita. Daos prasasat kita sami kinen ambatang adeging cacangkriman.
Artinya, semua serat ajaran luhur itu tidak mungkin ditulis secara apa adanya.
Melainkan dalam bentuk-bentuk kalimat peribahasa, metaphor, perlambangan, dan
pralampita. Jadi ketika menghadapinya, kita seperti membaca sebuah teka-teki.
Demikian pula ketika membaca kisah wit jati dalam sayembara Ki Gedhe
Sebayu diperlukan kecermatan dan kelengkapan pemahaman agar dapat memahami
bentuk-bentuk peribahasa, metafor, perlambangan, dan pralampita yang terdapat
di dalamnya.
Ketiga, dene
minggah pikajenganipun, sapisan, perlu kangge ngadegaken tuwin ngluhuraken. Artinya,
bahwa maksud semua itu tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa teks yang
sedang dihadapi makna sejatinya adalah mengacu kepada keluhuran dan kamuliaan
akhlak dan budi pekerti. Demikian pula dengan kisah sayembara Ki Gedhe Sebayu,
jika kita hendak mencapai makna keluhuran dan kemuliaan hati nurani, kita
hendaknya memperlakukannya sebagai sekumpulan sandi, lambang, simbol, metaphor,
dan sebagainya. Dengan kata lain, sayembara wit jati Ki Gedhe Sebayu harus
digali maknanya secara simbolik. Tidak boleh berhenti pada makna-makna
jasadiyahnya saja.
Keempat,
kaping
kalihipun, perlu kangge dhadhasaring pamarsudi tumrap para siswa. Supados sami
anandangaken kalimpadan alusing pambudi. Artinya, penting sebagai
landasan bagi pendidikan. Supaya siswa selalu melatih kecerdasan yang tumbuh
dari halusnya budi pekerti. Dalam membaca sayembara wit jati, kita harus memperoleh
kedalaman-kedalaman yang membawa kita kepada kehalusan rasa dan budi pekerti.
Kehalusan dan ketajaman rasa dan kemuliaan akhlak budi pekerti inilah yang
menjadi dasar bagi kecerdasan hati nurani, atau kalimpadan alusing pambudi. Jadi
membaca simbol-simbol ataupun metafor-metafor dalam khasanah Jawa bukan dengan
analitik rasional dari nalar dan pikiran kognitif belaka. Nalar demikian ini
akan membawa kita kepada makna “akal-akalan” atau uthak-athik waton gathuk. Dalam
khasanah Jawa, makna, atau jarwa, harus disandarkan pada kehalusan
budi pekerti, kemuliaan ruhani, serta keluhuran langit atau keluhuran
Ilahi atau yang dipahami sebagai dhosok. Inilah salah satu operasi
dasar bagi penggalian-penggalian makna yang disebut sebagai jarwadhosok.
Dengan
uraian di atas, maka kita telah memperoleh sedikit gambaran mengenai metode
penggalian makna-makna dalam upaya memperoleh pengertian mulia dan luhur dari
teks budaya. Demikian pula halnya dengan kisah sayembara pohon jati Ki Gedhe Sebayu. Demi
memperoleh kedalaman makna keluhuran dan kemuliaan, ia harus kita perlakukan
sebagai sebuah teks budaya. Yakni teks sanepan atau metafor yang berisi
wejangan dari para leluhur tanah Jawa.
Pertama,
kata sayembara
adalah garba atau
leburan dari dua kata: sae + umbara. Sae= baik= mulia= luhur.
Sedangkan kata umbara itu sendiri sudah menunjuk
kepada nama Jaka Umbaran atau Ki Jadhug atau Panembahan Purbaya ketika muda.
Jadi kata ini menunjuk kepada keutamaan atau keluhuran atau kebaikan atau karomah dari
Ki Jadhug. Dengan demikian keajaiban Ki Jadhug dalam kisah ini bukan berasal
dari kesaktian jasadiyahnya. Melainkan berasal dari karomah yang berasal dari kemurahan
dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. Fenomena ini merupakan perwujudan
langsung dari kedekatan Ki Jadhug kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, kejadhugan
beliau bukan sebagaimana dimaknai saat ini. Yakni semata-mata ilmu yang
melandaskan diri pada olah kanuragan dan kamandragunan.
Kedua,
dalam kisah tersebut, Ki Jadhug adalah kesatriya pungkasan atau terakhir dari dua
puluh lima atau selawe kesatriya tanah Jawa. Hal
ini menunjuk kepada penguasaan beliau terhadap ilmu pamungkas. Yakni menunjuk kepada
pepatah Jawa, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.
Artinya, sehebat-hebatnya ilmu kesaktian yang mandraguna sekalipun,
lebur atau runtuh dengan sebuah doa yang tulus ikhlas ke hadirat Tuhan. Tak
satupun kehebatan makhluk mampu melawan keagungan perkenan Ilahi demikian ini.
Disamping
itu, posisi pamungkas Ki Jadhug menunjuk kepada
keutamaan beliau sebagai ngulama di jaman itu. Hal ini bisa dibandingkan dengan
Kangjeng Sunan Kalijaga sebagai pamungkasing para waliyullah di
jaman beliau. Atau posisi Kangjeng Nabi Muhammad SAW di antara para Nabi dan
Rasul. Pamungkas
dalam pengertian ini tidak mengacu kepada pengertian “sebagai penutup” atau
”sebagai yang terakhir”, melainkan sebagai yang paling utama.
Ketiga,
nama selawe
dalam kisah tersebut menunjuk kepada jumlah kesatriya tanah Jawi. Namun dalam
penelusuran makna, kata selawe ini berkaitan dengan nama
kampung palaweyan
di Majapahit, kampung laweyan di kesultanan Pajang
(kemudian menjadi Surakarta Hadiningrat), dan kampung kebolawen
di kesultanan Mataram Kotagedhe. Bahkan toponimi yang terkait dengan kata laweyan ini
terdapat hampir di seluruh Nuswantara. Kata palaweyan adalah berasal dari kata pa +
alawiy + an. Di mana kata alawiy (lisan Jawa menjadi lawe)
menunjuk kepada kaum alawiyyin, yakni trah keturunan
Kangjeng Nabi Muhammad SAW (571-632M) dari Baginda Ngali atau Sayyidina Ngali
(600-661M). Maka toponimi selawi sebagai makna dari metafor selawe (dua
puluh lima) berkaitan dengan trah tokoh-tokoh terkait dalam
kisah ini. Yakni Ki Gedhe Sebayu dan kerabatnya, serta Ki Jadhug dan
kesatriya-kesatriya tanah Jawa lainnya.
Keempat,
dalam kisah tersebut, Ki Jadhug berhasil mencerabut wit jati hingga ke ara-akarnya,
dengan sarana angin kencang. Angin adalah bayu.
Kata bayu ini
berkaitan bahkan dengan nama Ki Gedhe Se-bayu sendiri.
Dalam khasanah Jawa, kata bayu juga menunjuk kepada Bathara
Bayu dalam sistem simbol pewayangan di Nuswantara. Sifat Bathara Bayu
disebutkan sebagai: angintip pakaryaning rat, budining rat den
awruhi. Tanpa wangen, tanpa tengran, nggonira mrih met budining sabumi…
sasolahe wadya keksi… ing tyasa datan kena molah, sasolahe kabeh wus den kawruhi.
Artinya, Bathara Bayu selalu berada di segala tempat tanpamembedakan
tinggi-rendah, daerah-kota, atau pedesaan, tanpa membedakan daerajat dan
martabat, sehingga secara langsung dapat mengetahui keadaan dan keinginan
rakyat. Inilah sifat Ki Gedhe Sebayu, dan juga inilah sifat Ki Jadhug. Ki
Jadhug dapat mencerabut wit jati hingga ke akarnya. Inilah
ke-jumbuh-an
antara keduanya. Manunggalnya antara se-bayu dengan angin
kencang. Artinya, Ki Gedhe Sebayu memperoleh menantu dengan
pemahaman yang sama dalam hal kepemimpinan sebagai pemomong rakyat jelata.
Bayu, juga
berarti yang paling utama, atau yang terbaik akhlak budi pekertinya. Misalnya
dalam khasanah Jawa dikenal banyak pemeo atau unen-unen mengenai hal ini. Bayuning
kethek iku Anoman. Artinya, sebaik-baik kera adalah Anoman. Bayuning
warih iku prawitasari. Artinya, sebaik-baik air adalah tirta
prawitasari. Bayuning ula iku panolah. Artinya,
sebaik-baik bangsa ular adalah Kyahi Panolah. Bayuning atau bebayuning
angga iku Siti Aminah. Artinya, sebaik-baik kepribadian adalah
ibunda Kangjeng Nabi SAW, yakni Siti Aminah, dan seterusnya. Maka bayuning
Adipati Tegalarum iku Se-bayu. Artinya, sebaik-baik adipati
Tegalarum adalah Ki Gedhe Sebayu. Bayuning sayembara iku Ki Jadhug. Artinya,
sebaik-baik pemuda pengelana adalah Ki Jadhug. Karena beliau berdua telah
mencapai pemahaman mengenai bocah angon yakni pemimpin sebagai
pamomong rakyat jelata. Pemimpin yang bisa menjadi ibu bagi bhumi atau ummi bagi ummat.
Pemimpin yang meneladani pungkasaning waliyullah atau
Kangjeng Sunan Kalijaga, dan yang meneladani pungkasaning nabi-rusul, atau
Kangjeng Nabi SAW.
Lebih
jauh lagi, sifat Bathara Bayu bisa dikenali juga dari murid-muridnya, yakni
Anoman dan Wrekudara. Seperti Bayu, mereka mengenakan kain poleng
bang bintulu aji, berkuku pancanaka, dan bergelung sukra
mangkara. Kain poleng bang bintulu aji adalah kain
bercorak hitam-putih seperti papan catur. Poleng= corak. Bang=
papan, tempat, di mana saja. Bintulu= biru= birru= bir=
berbakti. Aji= utama,
terbaik. Artinya adalah tokoh yang di mana pun dia berada corak hidupnya selalu
menjadi sebaik-baik orang yang berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kuku pancanaka.
Panca= lima, kenaka= kuku= kukuh, eka= tunggal.
Artinya, orang yang kokoh memegang lima unsur rukun Islam: syahadat,
salat, puasa, zakat, dan haji. Gelung sukra
mangkara. Sukra= roja’= berpengharapan hanya kepada Tuhan. Mangkara=
nafsu keinginan untuk mulia. Artinya, murid-murid Bayu sangat
berpengharapan kepada karunia Tuhan. Hanya Tuhan Yang Maha Esa tempat mereka
menggantungkan harapan dan seluruh hidupnya. Inilah sikap bathin Ki Jadhug (dan
Ki Gedhe Sebayu), sehingga akhirnya mendapatkan karomah dari Allah SWT.
Kelima,
dalam kisah, disebutkan bahwa wit jati tercerabut hingga akarnya.
Wit= pohon=
kayon= kayun= hidup. Jati= sejati= sesungguhnya=
hakikat. Ki Jadhug dengan demikian adalah orang yang mampu menjelaskan
kehidupan seorang kesatriya sejati hingga ke akar-akarnya. Pengetahuan hakikat
itu juga yang dimiliki Ki Gedhe Sebayu, sehingga akhirnya kedua tokoh tersebut nunggal
jati. Artinya, manunggal dan jumbuh dalam hal pengetahuan
kesejatian hidup sebagai kesatriya pemimpin tanah Jawi. Maka di akhir sayembara
itu, Ki Gedhe Sebayu bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan tahmid dan
takbir. Inilah
saka
penyangga masjid agung Kalisoka yang sebenarnya.
Refferensi:
·
Kelompok Studi IdeA, Disajikan pada Malam
Renungan Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal Ke-410, Senin 30 Mei 2011 di Gedung
Kesenian Slawi.
·
Komunitas Budaya Banyu Bening Yogyakarta, Ngayogyakarta
Hadiningrat, 5 Maret 2012. Didedikasikan Untuk Menyambut Hari Jadi Kabupaten
Tegal
·
Soetjiptoni, Ki Gede Sebayu Pendiri
Pemerintahan Tegal tahun 1585-1625 : Penerbit Citra Bahari Animal Tegal Tahun
2007)
Sya’roni
as-Samfuriy, Indramayu 12 Dzul Hijjah 1433 H