Sabtu, 27 Oktober 2012

KI GEDE SEBAYU



KI GEDE SEBAYU


Menurut silsilah, Ki Gede Sebayu keturunan darah bangsawan dari Batoro Katong atau Syech Sekar Delima (Adipati Wengker Ponorogo). Ayahnya bernama Pangeran Onje (Adipati Purbalinga). Sejak kecil, Ki Gede Sebayu diasuh oleh eyangnya yaitu Ki Ageng Wunut yang selama hidupnya menekuni Agama Islam. Hal ini membawa dampak bagi perkembangan Ki Gede Sebayu yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku ramah dan santun. Setelah menginjak dewasa, Ki Gede Sebayu oleh ayahnya disuwitakan di Keraton Pajang yaitu Kasultanan Adiwijaya. sebagai prajurit tamtama sehingga Ki Gede Sebayu memperoleh pendidikan keprajuritan dan ilmu kanuragan. Ketika Aryo Pangiri berkuasa menggantikan Kesultanan Pajang, Ki Gede Sebayu pergi meninggalkan Pajang menuju Desa Sedayu. Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu Raden Ayu Rara Giyanti Subhaleksana menikah dengan Ki Jadug (Pangeran Purbaya) dan Raden Mas Hanggawana.
Ketokohan Ki Gede Sebayu mulai nampak ketika terjadi perang antara Kerajaan Pajang dan Jipang. Ki Gede Sebayu bergabung dengan prajurit Mataram bersama Pangeran Benowo untuk menyingkirkan Aryo Pangiri. Ketika itu Ki Gede Sebayu dengan tombak pendeknya menyerang prajurit Pajang sehingga banyak yang tewas dan akhirnya Aryo Pangiri menyerah dan diusir dari Keraton Pajang. Kemudian Keraton pajang diserahkan kepada Pangeran Benowo.
Setelah selesai pertempuran (1587), Ki Gede Sebayu dan pengikutnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah barat dan sampai di Desa Taji (wilayah Bagelan) disambut oleh Demung Ki Gede Karang Lo. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Banyumas (Kadipaten Purbalingga) untuk ziarah ke makam ayah Ki Gede Sebayu dan akhirnya sampai di Desa Pelawangan kemudian menyusuri pantai utara ke arah barat dan sampailah di Kali Gung (Padepokan Ki Gede Wonokusumo). Kedatangan Ki Gede Sebayu bersama rombongan yang bermaksud “mbabat alas” membangun masyarakat tlatah Tegal disambut gembira oleh Ki Gede Wonokusumo. Ki Gede Sebayu mulai menyusun rencana dan strategi untuk melakukan pembangunan yaitu :

1
Mengatur penempatan para pengikutnya sesuai dengan ketrampilan dan keahlian.

- ahli kerajinan dan pertukangan ditempatkan di pusat perniagaan dan perdagangan

- ahli pertanian ditempatkan di daerah pertanian yaitu dataran rendah dan tinggi

- ahli kemasan, ahli tenun (termasuk keluarga Ki Gede Sebayu) .
2
Mencoba membudidayakan pertanian basah (persawahan irigasi) dengan membuat bendungan Kali Gung untuk mengairi persawahan penduduk dengan nama Bendungan Wangan Jimat, selain itu membuat Kali Jembangan, Kali Bliruk dan Kali Wadas yang terletak di Dukuh Kemanglen dengan sebutan Grujugan Curug Mas.


3
Untuk memenuhi kebutuhan rohani, Ki Gede Sebayu membangun masjid dan pondok pesantren di Dukuh Pesantren sebagai tempat kegiatan agama. Di sinilah diajarkan cara membaca Al-Qur’an, pengajian yang mengajarkan kewajiban muslim dalam menjalankan agamanya.


4
Memberikan penamaan terhadap wilayah sesuai dengan kondisi daerah, seperti : Danawarih yang berarti memberi air, Slawi berarti tempat berkumpulnya para satria yang berjumlah selawe atau dua puluh lima yang dalam perkembangannya menjadi pusat kekuasaan (pangreh praja) di Kabupaten Tegal.


Ide dan pemikiran Ki Gede Sebayu memberikan banyak kemajuan bagi masyarakat
Para petani dapat memanfaatkan alat-alat pertanian dengan adanya hasil kerajinan pandai besi. Pasar perdagangan semakin ramai karena banyak masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan kayu, menjahit, pembuatan alat dapur dari tembaga, pertukangan emas dan sebagainya.
Taraf hidup masyarakat meningkat dengan didukung pembuatan jalan desa, pembangunan rumah penduduk yang dilakukan secara gotong royong , mengatur keamanan secara bersama-sama.
Atas keberhasilannya dalam membangun Tegal maka pada tahun 1601 M atau 1523 Caka, Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati Mataram mengangkat Ki Gede Sebayu sebagai Juru Demung (Penguasa Lokal di Tlatah Tegal) dengan pangkat Tumenggung setingkat Bupati.

Ki Gede Sebayu Tegal

 

Identitas Kabupaten Tegal dijiwai oleh semangat kejayaan Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah tegal. Sebagaimana tertera dalam buku silsilah raja-raja se-Tanah Jawa. Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan yang bernama Bathara Katong Adipati Ponorogo dan beliau adalah putra ke-22 dari 90 bersaudara, kemudian Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu : Raden Ayu Giyanti Subalaksana itri dari Pangeran Selarong (Pangeran Purboyo), dan Ki Gede Honggowono ayah dari Ki Gede Hanggowono Seco Menggolo Jumeneng Tumenggung Reksonegoro Ke-I yang dimakamkan di Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru.

Ki Gede Sebayu banyak pengabdiannya pada Pemerintah Kanjeng Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.

Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng Panembahan Senopati untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.

Dengan restu dari Panembahan Senopati, Ki Gede Sebayu pergi ke tlatah Tegal yang diikuti oleh 40 pasangan keluarga terpilih yaitu mereka yang memiliki keahlian di berbagai bidang keterampilan. Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan akhirnya rombongan Ki Gede Sebayu sampai di tepian Kali Gung dan disambut oleh Ki Gede Wonokusumo, yaitu sesepuh dan penanggung jawab makam Pangeran Drajat (Mbah Panggung).

Mengetahui tujuan mulia dari kedatangan Ki Gede Sebayu ke tlatah Tegal yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Ki Gede Wonokusumo dengan tulus ikhlas membantu menata rombongan Ki Gede Sebayu dengan menitipkan keluarga-keluarga dari rombongan itu ke daerah-daerah sepanjang Kali Gung sesuai bidang-bidang keahlian masing-masing dan berakhir di Dukuh Karangmangu Desa Kalisoka (Kecamatan Dukuhwaru-sekarang) sesuai bidang keahlian yang dimilikinya.

Kedatangan keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu di masing-masing daerah itu dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan daerahnya. Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat, antara lain : pembudidayaan tanaman pangan, kerajinan emas dan tenun kain selendang. Di bidang kerohanian, didirikan pondok pesantren yang sampai sekarang masih terkenal.

Menyikapi perkembangan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang belum tampak nyata, sedangkan sebagian besar bermata pencaharian tani ladang ( tanah kering ) yang hasilnya kurang menguntungkan.

Ki Gede Sebayu beserta dua orang pengikut setianya, Ki Sura Lawayan dan Ki Jaga Sura berjalan sepanjang tepi Kali Gung ke selatan sampai di suatu igir gunung selapi. Dan muncullah niat membangun bendungan untuk mengalirkan air dari Kali Gung ke persawahan.

Perkembangan selanjutnya, dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Ki Gede Sebayu beserta pengikut dan masyarakat sekitarnya dalam membendung Kali Gung hingga menjadi sumber pengairan bagi pertanian di daerah sekitarnya yang kemudian disebut Bendungan Danawarih, daerah Tegal yang maju pesat ini, gaungnya sampai ke negeri Mataram.

Kemudian atas jasa-jasa Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah Tegal, oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Panembahan Senopati Sayyidin Penata Gama Ratu Bimantoro di negeri Mataram diangkat menjadi Juru Demang setarap dengan Tumenggung di Kadipaten Tegal pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.

Dengan berpedoman inilah disepakati sebagai HARI JADI KABUPATEN TEGAL dan sekaligus KI GEDE SEBAYU dijadikan tokoh pendiri atau anutan masyarakat Kabupaten Tegal karena:

1.      Taat dan taqwa kepada Allaw SWT

2.      Sebagai tokoh pembangunan pertama di tlatah Tegal

3.      Ki Gede Sebayu adalah pemimpin kharismatik

4.      Merupakan cikal bakal pemimpin di tlatah Tegal yang banyak menurunkan Bupati di Kabupaten Tegal dan Brebes.

5.      Makam Ki Gede Sebayu di wilayah Kabupaten Tegal yaitu Desa Danawarih.

Ki Gede Sebayu merupakan keturunan trah Majapahit. Pada saat terjadi pergolakan perebutan kekuasaan beliau lebih memilih diam. Bahkan pada saat suasana makin kacau, Ki Ageng Ngunut (kakek Sebayu) mendesak Ki Gede Sebayu agar menyelamatkan Kerajaan Pajang. Namun, Ki Gede Sebayu menolak.
Melihat penderitaan manusia akibat perebutan kekuasaan antar keluarga itu tidak kunjung reda, Ki Gede Sebayu malah pilih pamit untuk menyingkir ke barat. Beliau melepas atribut kebangsawanannya dan mengembara mencari hakekat hidup. Sampailah beliau di sebuah daerah penuh ilalang, padang rumput luas dengan sungai besar yang dialiri air bening sampai muara laut utara. Beliau terperangah melihat hamparan padang rumput luas yang nyaris tak berpenghuni itu.
Di sana hanya ada beberapa bangunan semipermanen yang dihuni sejumlah santri dan sebuah makam keramat. Makam tersebut adalah tempat jenazah Sunan Panggung atau Mbah Panggung dikebumikan. Terbersitlah di dalam benak Ki Gede Sebayu untuk mengajari warga pesisir itu bercocok tanam. Beliau merasa menemukan persinggahan yang menjanjikan, sehingga menghentikan pengembaraannya. Diajaknya warga setempat membabat alang-alang agar jadi tegalan. Selain itu, beliau juga membuat bendungan di hulu sungai daerah Danawarih untuk dijadikan sumber air irigasi.
Sementara itu, Pangeran Benowo diangkat menjadi raja Pajang. Beliau membutuhkan sepupunya, yang tak lain adalah Ki Gede Sebayu, untuk menjadi patih. Pangeran Benowopun mengutus sejumlah prajurit untuk mencari Ki Gede Sebayu. Di Desa Tegal,
tempat Sebayu bermukim, sepupu Pangeran Benowo itu ditemukan. Namun karena Ki Gede Sebayu tidak mungkin meninggalkan rakyat Tegal, maka Pangeran Benowo melantik beliau menjadi juru demang atau sesepuh Desa Tegal. Anugerah sebagai sesepuh desa diberikan pada malam Jumat Kliwon, 15 Sapar Tahun 988 Hijriah, atau tahun 588 EHE. Waktu itu bertepatan dengan 12 April 1580 Masehi.


Ki Gede Sebayu dalam Narasi yang Datar dan Sepi.


1.      Romantisme,Kebanggaan dan Jatidiri.
Sejak ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tegal 16 tahun yang lalu melalaui Perda Kab.Tegal no.13/95 dan dikukuhkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah no.188.3/101/1996 masyarakat kabupaten Tegal sudah 17 kali menyelenggarakan acara dan upacara yang jatuh pada setiap tanggal 18 Mei.Peringatan serupa juga dilakukan oleh semua wilayah kabupaten/kota bahkan propinsi diseluruh In-donesia.Melalui peringatan semacam itu,diharapkan momentum hari jadi dapat dijadikan sarana sebagai upaya-upaya pembentukan jati diri dan kebanggaan daerah pada masyarakatnya.Kesepakatan yang bersifat politis melalui aspek sejarah dan budaya ini,biasanya menampilkan romantisme masa lalu melalui tokoh (lokal) yang berjasa dan dihormati. Tidak jarang dibumbui dengan menampilkan legenda dan cerita-cerita magis tokoh yang digdaya penuh kesaktian dalam epos-epos peperangan maupun perjuangan melawan musuh dan menegakkan keadilan.
Dalam sebuah diskusi tentang hari jadi sebuah kota beberapa tahun yang lalu terungkap adanya anggapan bahwa semakin tua sebuah wilayah semakin menambah wibawa dan kebesaran sang tokoh. Hal tersebut diharapkan akan berdampak semakin besarnya kebanggaan warga terhadap wilayahnya.
Kota Palembang terkesan sangat tua dan memiliki sejarah kebesaran masa silam , karena berdiri sejak tanggal 20 Juni 683 dan tahun ini merayakan ulang tahunnya yang ke 1328.
Kota Jakarta menetapkan hari jadinya pada tanggal 22 Juni 1527 dan tahun ini genap berusia 484 tahun.Tanggal tersebut ditetapkan sebagai pertanda kemenangan Fatahillah setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.Bagaimana kedahsyatan tokoh “super hero” ini bertempur melawan Portugis,hampir 5 abad yang lalu,sampai hari ini masih dapat disaksikan melalui tayangan film/tv. Kebesaran nama Fatahillah diabadikan pada beberapa bangunan dan kawasan di Jakarta.bahkan nama kapal perang Angkatan Laut RI.
Kota Cirebon tahun ini berulang tahun yang ke-642. Hari jadi kota Cirebon tidak menggunakan penanggalan Masehi,tetapi mengikuti penanggalan Hijriah, yakni setiap tanggal 1 Muharam (1 Syura). Pada tanggal 1 Muharam 791 H Syekh Datul Kahfi memerintahkan kepada muridnya,Pangeran Cakrabuana pendiri Kerajaan Pakungwati untuk membuka hutan di kawasan pesisir Cirebon untuk dijadikan pemukiman penduduk, yang kemudian menjadi Kasultanan Cirebon.Syekh Datul Kahfi adalah kakak dari ibu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,salah satu dari Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Yang masih dikenang (dan kemudian dianut) warga masyarakat Cirebon sampai saat ini adalah Wasiat Sunan Gunung Jati dalam bahasa Cirebon “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang artinya “Aku menitipkan surau dan fakir miskin”. Sebuah artikulasi yang sangat dalam maknanya dan masih relevan untuk dilaksanakan sampai saat ini.


2.      Ki Gede Sebayu dalam narasi yang datar dan sepi.


Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan Pajang.Akibat frustasi menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakekat hidup.Dengan diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka kemudian menularkan keahliannya dibidang pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul Awal 1010 H, atau 18 Mei 1601 M oleh Panembahan Senopati raja Mataram beliau dianugrahi gelar Juru Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21 tahun lebih tua.
Narasi tokoh Ki Gede Sebayu dalam pengembaraan panjang dan melelahkan memang terasa datar dan sepi. Kita bisa membayangkan,bagaimana iring-iringan puluhan orang yang terdiri dari para prajurit,petani,tukang kayu,tukang besi,ulama,termasuk wanita dan ibu-ibu,berjalan melintasi lembah dan pegunungan,menyeberang sungai dan menyusuri pantai. selama berhari-hari.Dari kacamata literasi,ini adalah sebuah epos yang sangat spektakuler. Namun misi suci Ki Gede Sebayu yang sangat luar biasa tersebut seolah hanya peristiwa biasa.Padahal peristiwa tersebut dari aspek politik dan sosial budaya memiliki nilai yang sangat besar, yakni:
1.      Menguatnya legitimasi kekuasaan Mataram di wilayah barat, terbukti kemudian dengan diangkatnya keturunan Ki Gede Sebayu menjadi Adipati di Tegal dan Brebes.
2.Terbangunnya pranata sosial dan kemakmuran melalui budaya bercocok tanam sebagai modal dasar ketahanan dan pertahanan suatu wilayah.Hal ini perlu dilakukan,karena waktu itu adalah awal masuknya kolonialisme Belanda (1601) yang diyakini akan menguasai dan menghancurkan kerajaan-kerajaan di tanah Jawa.
2.      Sayangnya gagasan futuristik tersebut tidak sempat diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang akan dicacat oleh sejarah dan dikenang oleh generasi yang bakal datang. Ki Gede Sebayu tidak pernah mewariskan kredo seperti halnya Sunan Gunung Jati: “Ingsun titip tajug lan fakir miskin.” Atau Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada: “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa…”
3.      Membangun karakter sambil membangkitkan imajinasi.
Dengan peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal yang diselenggarakan setiap tahun,diharapkan akan terbangun karakter warga yang memiliki ciri dan perilaku sebagaimana yang ingin diteladankan Ki Gede Sebayu.Untuk mengaktualisasikan dan mengomunikasikan teladan luhur tersebut kehadapan khalayak,bukan hal yang mudah,mengingat panjangnya rentang waktu masa silam.Imajinasi khalayak tentang Ki Gede Sebayu yang tidak ditopang oleh referensi dan korelasi profil yang stereotip,khas,dengan “his story” yang unik,dramatik apalagi heroik,kiranya sangat sulit untuk dimunculkan.Acara dan upacara setahun sekali yang lebih bersifat formal dan artifisial,pidato-pidato dan kirab pusaka serta tampilan para pejabat yang feodalistik aristokratif,semakin menjauhkan dengan misi budaya pertanian dan pedesaan ,yang masih tetap relevan dengan problem mayoritas masyarakat Kabupaten Tegal.Diperlukan gagasan yang cerdas untuk bisa sekadar menyentuhkan misi Ki Gede Sebayu 4 abad yang lalu.Sehingga nama Ki Gede Sebayu akan bisa terpateri dalam sanubari setiap warga Kabupaten Tegal.

 

Pohon Jati Ki Gedhe Sebayu (Membedah Makna Sayembara Ki Gede Sebayu)

 

“Sapa-sapa satriya sing bisa negor wit jati nganti bisa rubuh, bakal dak tampa dadi jodhone anakku, Raden Ayu Siti Giyanti Subalaksana.”

Demikian sabda Ki Gedhe Sebayu ketika mengumumkan sayembara kepada seluruh kesatriya tanah Jawa. Artinya, siapa saja kesatriya Jawa yang bisa menebang pohon jati sehingga roboh, akan diterima menjadi jodoh putrinda, Raden Ayu Siti Giyanti Subalaksana. Disamping itu, wit jati atau pohon jati tersebut nantinya akan menjadi sakaguru bagi Masjid Agung Kalisoka. Namun dalam sayembara itu tak seorangpun mampu menebang wit jati tersebut hingga roboh. Sudah dua puluh empat kesatriya gagal melaksanakan sayembara Ki Gedhe Sebayu.
Pada saat semua orang hampir putus asa, datanglah seorang pemuda. Ia bernama Ki Jadhug yang mengaku dari dukuh Sigeblag, desa Slarang Kidul,  kecamatan Lebaksiu. Konon Ki Jadhug adalah Jaka Umbaran atau Panembahan Purubaya ketika muda. Putra sulung Panembahan Senapati ing Alaga Mataram ini sedang melaksanakan kewajiban kesatriya Jawa untuk lelana. Yakni berkelana demi menajamkan hati dan pikiran. Ki Jadhug mengikuti sayembara akbar tersebut. Dengan susah payah, beliau berhasil juga melaksanakan amanat Ki Gedhe. Beliau mencerabut wit jati tersebut hingga akar-akarnya ke permukaan tanah. Dan ketika sang wit jati tercerabut, semua khalayak menyaksikan angin kencang yang membantu Ki Jadhug. Akhirnya, pekik tahmid dan takbir dari Ki Gedhe Sebayu mengiringi robohnya sang wit jati.
Demikian babad, serat, dan legenda masyarakat Jawa mencatat peristiwa agung itu. Namun kita harus mencermati secara seksama peristiwa tersebut agar mencapai kedalaman makna. Bahkan makna yang dimaksud oleh para leluhur itu sendiri. Untuk mencapai makna itu, para leluhur memberikan beberapa catatatan sebagaimana yang termaktub dalam kitab Betal Jemur Atassadhur Adammakna. Teks itu berbunyi demikian di bawah ini.
Pertama, tiyang ngudi kawruh punika kedah telatos panyuraosipun, murih mangertos ing lair batos. Sebab yen boten mekaten, kawruh ingkang sejatosipun langkung miraos tumrap raosing manah, boten siwah kadidene raosing madu pinasthika, temah lajeng malik garembyang dados raos pait asengak kadidene tuwak sajeng ingkang angendemi. Ing wusana lajeng andadosaken wisaning jiwa raga. Artinya, orang yang sedang menyelami pengetahuan hidup harus telaten perasaannya, agar mampu mengerti maknanya secara lahir dan bathin. Sebab jika tidak demikian (telaten), pengetahuan hidup yang seharusnya lebih bermakna dalam pengertian rasa dan hati nurani, tidak tergelincir maknanya bagaikan rasa madu yang paling unggul, malah (rasa) yang dijumpai menjadi terbalik pahit-sengak seperti tuak yang memabukkan. Akhirnya rasa pengetahuan yang diperoleh terbalik itu malah menjadi racun pemahaman bagi jiwa dan raga.
Dalam menggali makna kisah sayembara wit jati Ki Gedhe Sebayu di atas, kita tidak mungkin hanya berhenti pada pemahaman jasadiyah saja. Jika demikian pendalaman makna akan berhenti pada kehebatan-kehebatan yang sifatnya kejadhugan, kadigdayan, kesaktian, yang arahnya cenderung pada terbentuknya wisaning jiwa raga. Atau terbentuknya semacam racun berbisa yang merusak jiwa dan raga, yaitu watak yang semata-mata mengarah kepada adigang, adigung, dan adiguna. Jika demikian maka makna yang dicapai malah mendekatkan kepada nafsu angkara atau wisaning jiwa raga. Sehingga capaian makna belum mengenai sasaran makna yang dimaksud, atau raosing madu pinasthika. Yakni keluhuran dan kemuliaan budi pekerti.
Kedua, sedaya serat-serat piwulang punika prasasat boten wonten tembung ingkang ukaranipun kadamel prasaja. Nanging wonten tembung paribasan, pasemon, pralambang, tuwin pralampita. Daos prasasat kita sami kinen ambatang adeging cacangkriman. Artinya, semua serat ajaran luhur itu tidak mungkin ditulis secara apa adanya. Melainkan dalam bentuk-bentuk kalimat peribahasa, metaphor, perlambangan, dan pralampita. Jadi ketika menghadapinya, kita seperti membaca sebuah teka-teki. Demikian pula ketika membaca kisah wit jati dalam sayembara Ki Gedhe Sebayu diperlukan kecermatan dan kelengkapan pemahaman agar dapat memahami bentuk-bentuk peribahasa, metafor, perlambangan, dan pralampita yang terdapat di dalamnya.
Ketiga, dene minggah pikajenganipun, sapisan, perlu kangge ngadegaken tuwin ngluhuraken. Artinya,  bahwa maksud semua itu tidak lain adalah untuk menegaskan bahwa teks yang sedang dihadapi makna sejatinya adalah mengacu kepada keluhuran dan kamuliaan akhlak dan budi pekerti. Demikian pula dengan kisah sayembara Ki Gedhe Sebayu, jika kita hendak mencapai makna keluhuran dan kemuliaan hati nurani, kita hendaknya memperlakukannya sebagai sekumpulan sandi, lambang, simbol, metaphor, dan sebagainya. Dengan kata lain, sayembara wit jati Ki Gedhe Sebayu harus digali maknanya secara simbolik. Tidak boleh berhenti pada makna-makna jasadiyahnya saja.
Keempat, kaping kalihipun, perlu kangge dhadhasaring pamarsudi tumrap para siswa. Supados sami anandangaken kalimpadan alusing pambudi. Artinya, penting sebagai landasan bagi pendidikan. Supaya siswa selalu melatih kecerdasan yang tumbuh dari halusnya budi pekerti. Dalam membaca sayembara wit jati, kita harus memperoleh kedalaman-kedalaman yang membawa kita kepada kehalusan rasa dan budi pekerti. Kehalusan dan ketajaman rasa dan kemuliaan akhlak budi pekerti inilah yang menjadi dasar bagi kecerdasan hati nurani, atau kalimpadan alusing pambudi. Jadi membaca simbol-simbol ataupun metafor-metafor dalam khasanah Jawa bukan dengan analitik rasional dari nalar dan pikiran kognitif belaka. Nalar demikian ini akan membawa kita kepada makna “akal-akalan” atau uthak-athik waton gathuk. Dalam khasanah Jawa, makna, atau jarwa, harus disandarkan pada kehalusan budi pekerti, kemuliaan ruhani, serta keluhuran langit atau keluhuran Ilahi atau yang dipahami sebagai dhosok. Inilah salah satu operasi dasar bagi penggalian-penggalian makna yang disebut sebagai jarwadhosok.
Dengan uraian di atas, maka kita telah memperoleh sedikit gambaran mengenai metode penggalian makna-makna dalam upaya memperoleh pengertian mulia dan luhur dari teks budaya. Demikian pula halnya dengan kisah sayembara pohon jati Ki Gedhe Sebayu. Demi memperoleh kedalaman makna keluhuran dan kemuliaan, ia harus kita perlakukan sebagai sebuah teks budaya. Yakni teks sanepan atau metafor yang berisi wejangan dari para leluhur tanah Jawa.
Pertama, kata sayembara adalah garba atau leburan dari dua kata: sae + umbara. Sae= baik= mulia= luhur. Sedangkan kata umbara itu sendiri sudah menunjuk kepada nama Jaka Umbaran atau Ki Jadhug atau Panembahan Purbaya ketika muda. Jadi kata ini menunjuk kepada keutamaan atau keluhuran atau kebaikan atau karomah dari Ki Jadhug. Dengan demikian keajaiban Ki Jadhug dalam kisah ini bukan berasal dari kesaktian jasadiyahnya. Melainkan berasal dari karomah yang berasal dari kemurahan dan kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa. Fenomena ini merupakan perwujudan langsung dari kedekatan Ki Jadhug kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, kejadhugan beliau bukan sebagaimana dimaknai saat ini. Yakni semata-mata ilmu yang melandaskan diri pada olah kanuragan dan kamandragunan.
Kedua, dalam kisah tersebut, Ki Jadhug adalah kesatriya pungkasan atau terakhir dari dua puluh lima atau selawe kesatriya tanah Jawa. Hal ini menunjuk kepada penguasaan beliau terhadap ilmu pamungkas. Yakni menunjuk kepada pepatah Jawa, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Artinya, sehebat-hebatnya ilmu kesaktian yang mandraguna sekalipun, lebur atau runtuh dengan sebuah doa yang tulus ikhlas ke hadirat Tuhan. Tak satupun kehebatan makhluk mampu melawan keagungan perkenan Ilahi demikian ini.
Disamping itu, posisi pamungkas Ki Jadhug menunjuk kepada keutamaan beliau sebagai ngulama di jaman itu. Hal ini bisa dibandingkan dengan Kangjeng Sunan Kalijaga sebagai pamungkasing para waliyullah di jaman beliau. Atau posisi Kangjeng Nabi Muhammad SAW di antara para Nabi dan Rasul. Pamungkas dalam pengertian ini tidak mengacu kepada pengertian “sebagai penutup” atau ”sebagai yang terakhir”, melainkan sebagai yang paling utama.
Ketiga, nama selawe dalam kisah tersebut menunjuk kepada jumlah kesatriya tanah Jawi. Namun dalam penelusuran makna, kata selawe ini berkaitan dengan nama kampung palaweyan di Majapahit, kampung laweyan di kesultanan Pajang (kemudian menjadi Surakarta Hadiningrat), dan kampung kebolawen di kesultanan Mataram Kotagedhe. Bahkan toponimi yang terkait dengan kata laweyan ini terdapat hampir di seluruh Nuswantara. Kata palaweyan adalah berasal dari kata pa + alawiy + an. Di mana kata alawiy (lisan Jawa menjadi lawe) menunjuk kepada kaum alawiyyin, yakni trah keturunan Kangjeng Nabi Muhammad SAW (571-632M) dari Baginda Ngali atau Sayyidina Ngali (600-661M). Maka toponimi selawi sebagai makna dari metafor selawe (dua puluh lima) berkaitan dengan trah tokoh-tokoh terkait dalam kisah ini. Yakni Ki Gedhe Sebayu dan kerabatnya, serta Ki Jadhug dan kesatriya-kesatriya tanah Jawa lainnya.
Keempat, dalam kisah tersebut, Ki Jadhug berhasil mencerabut wit jati hingga ke ara-akarnya, dengan sarana angin kencang. Angin adalah bayu. Kata bayu ini berkaitan bahkan dengan nama Ki Gedhe Se-bayu sendiri. Dalam khasanah Jawa, kata bayu juga menunjuk kepada Bathara Bayu dalam sistem simbol pewayangan di Nuswantara. Sifat Bathara Bayu disebutkan sebagai: angintip pakaryaning rat, budining rat den awruhi. Tanpa wangen, tanpa tengran, nggonira mrih met budining sabumi… sasolahe wadya keksi… ing tyasa datan kena molah, sasolahe kabeh wus den kawruhi. Artinya, Bathara Bayu selalu berada di segala tempat tanpamembedakan tinggi-rendah, daerah-kota, atau pedesaan, tanpa membedakan daerajat dan martabat, sehingga secara langsung dapat mengetahui keadaan dan keinginan rakyat. Inilah sifat Ki Gedhe Sebayu, dan juga inilah sifat Ki Jadhug. Ki Jadhug dapat mencerabut wit jati hingga ke akarnya. Inilah ke-jumbuh-an antara keduanya. Manunggalnya antara se-bayu dengan angin kencang. Artinya, Ki Gedhe Sebayu memperoleh menantu dengan pemahaman yang sama dalam hal kepemimpinan sebagai pemomong rakyat jelata.
Bayu, juga berarti yang paling utama, atau yang terbaik akhlak budi pekertinya. Misalnya dalam khasanah Jawa dikenal banyak pemeo atau unen-unen mengenai hal ini. Bayuning kethek iku Anoman. Artinya, sebaik-baik kera adalah Anoman. Bayuning warih iku prawitasari. Artinya, sebaik-baik air adalah tirta prawitasari. Bayuning ula iku panolah. Artinya, sebaik-baik bangsa ular adalah Kyahi Panolah. Bayuning atau bebayuning angga iku Siti Aminah. Artinya, sebaik-baik kepribadian adalah ibunda Kangjeng Nabi SAW, yakni Siti Aminah, dan seterusnya. Maka bayuning Adipati Tegalarum iku Se-bayu. Artinya, sebaik-baik adipati Tegalarum adalah Ki Gedhe Sebayu. Bayuning sayembara iku Ki Jadhug. Artinya, sebaik-baik pemuda pengelana adalah Ki Jadhug. Karena beliau berdua telah mencapai pemahaman mengenai bocah angon yakni pemimpin sebagai pamomong rakyat jelata. Pemimpin yang bisa menjadi ibu bagi bhumi atau ummi bagi ummat. Pemimpin yang meneladani pungkasaning waliyullah atau Kangjeng Sunan Kalijaga, dan yang meneladani pungkasaning nabi-rusul, atau Kangjeng Nabi SAW.
Lebih jauh lagi, sifat Bathara Bayu bisa dikenali juga dari murid-muridnya, yakni Anoman dan Wrekudara. Seperti Bayu, mereka mengenakan kain poleng bang bintulu aji, berkuku pancanaka, dan bergelung sukra mangkara. Kain poleng bang bintulu aji adalah kain bercorak hitam-putih seperti papan catur. Poleng= corak. Bang= papan, tempat, di mana saja. Bintulu= biru= birru= bir= berbakti. Aji= utama, terbaik. Artinya adalah tokoh yang di mana pun dia berada corak hidupnya selalu menjadi sebaik-baik orang yang berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kuku pancanaka. Panca= lima, kenaka= kuku= kukuh, eka= tunggal. Artinya, orang yang kokoh memegang lima unsur rukun Islam: syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Gelung sukra mangkara. Sukra= roja’= berpengharapan hanya kepada Tuhan. Mangkara= nafsu keinginan untuk mulia. Artinya, murid-murid Bayu sangat berpengharapan kepada karunia Tuhan. Hanya Tuhan Yang Maha Esa tempat mereka menggantungkan harapan dan seluruh hidupnya. Inilah sikap bathin Ki Jadhug (dan Ki Gedhe Sebayu), sehingga akhirnya mendapatkan karomah dari Allah SWT.
Kelima, dalam kisah, disebutkan bahwa wit jati tercerabut hingga akarnya. Wit= pohon= kayon= kayun= hidup. Jati= sejati= sesungguhnya= hakikat. Ki Jadhug dengan demikian adalah orang yang mampu menjelaskan kehidupan seorang kesatriya sejati hingga ke akar-akarnya. Pengetahuan hakikat itu juga yang dimiliki Ki Gedhe Sebayu, sehingga akhirnya kedua tokoh tersebut nunggal jati. Artinya, manunggal dan jumbuh dalam hal pengetahuan kesejatian hidup sebagai kesatriya pemimpin tanah Jawi. Maka di akhir sayembara itu, Ki Gedhe Sebayu bersyukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, dengan tahmid dan takbir. Inilah saka penyangga masjid agung Kalisoka yang sebenarnya.

Refferensi:
·         Kelompok Studi IdeA, Disajikan pada Malam Renungan Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal Ke-410, Senin 30 Mei 2011 di Gedung Kesenian Slawi.
·         Komunitas Budaya Banyu Bening Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat, 5 Maret 2012. Didedikasikan Untuk Menyambut Hari Jadi Kabupaten Tegal
·         Soetjiptoni, Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal tahun 1585-1625 : Penerbit Citra Bahari Animal Tegal Tahun 2007)

Sya’roni as-Samfuriy, Indramayu 12 Dzul Hijjah 1433 H